twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa

Hampir disemua kampus saat ini memberlakukan 75 % kehadiran bagi mahasiswa disetiap semester sebagai salah satu syarat mengikuti UTS (Ujian Tengah Semester) maupun UAS (Ujian Akhir Semester). Sepintas peraturan ini terlihat baik dan efektif untuk mengurangi angka ketidak hadiran mahasiswa pada tiap jam mata kuliah dan dapat mengurangi rasa malas serta dapat meningkatkan motivasi belajar. Dengan memberlakukan batas kehadiran minimum 75 % diharapkan akan meningkatkan prestasi belajar mahasiswa.

Benarkah kehadiran 75 % bisa efektif meningkatkan prestasi belajar mahasiswa? Sepertinya perlu dikaji lebih dalam mengenai hal itu. Peraturan 75 % kehadiran yang dibuat oleh pihak kampus ini menurut saya memiliki beberapa kekurangan atau kelemahan.

Sebelum membahas lebih jauh marilah kita coba kembali dulu ke esensi peraturan, peraturan identik dengan hukum yang pada dasarnya adalah sesuatu yang telah disepakati bersama dan untuk dilaksanakan bersama agar tercipta tatanan hidup tertib, aman, adil, dan sejahtera. Jadi jelas bahwa di dalam peraturan harus terdapat menciptakan hidup tertib, memberikan rasa aman, berlaku adil serta dapat memberikan kesejahteraan pihak-pihak yang dikenai peraturan.

Nah sekarang dapat kita kaji bersama apakah kehadiran 75% bisa efektif untuk menciptakan hidup terbib bagi mahasiswa??? Kalau memang sudah, maka pertanyaanya adalah tertib yang seperti apa??? Ternyata setelah peraturan kahadiran 75% diberlakuan, masih saja banyak mahasiswa yang membolos kuliah atau hanya TA (Titip Absen) kepada temen sekelasnya. Hal ini justru menciptakan kejahatan atau kebohongan-kebohongan mahasiswa dengan cara titip absen tadi. Seharusnya yang dilakukan pihak kampus untuk bisa mengurangi angka ketidak hadiran mahasiswa adalah dengan cara penyadaran-penyadaran terhadap mahasiswa bahwa kuliah atau belajar itu amat penting untuk masa depan mereka bukan dengan cara pemerkosaan kehadiran 75%.

Disini jelas bahwa dengan diberlakukannya batas kehadiran 75% telah terjadi pemerkosaan terhadap kemerdekaan mahasiswa dan telah menghilangkan esensi dari pendidikan itu sendiri, pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan yang memerdekakan jiwa sang anak, dalam hal ini biarlah sang anak berkreasi sesuai bakatnya asal tidak membahayakan sang anak. Merdeka bukan berarti bebas -sebebas-bebasnya- tapi dalam konteks ini mahasiswa haruslah diberi kebebasan untuk mengatur dan menentukan dirinya sendiri karena mahasiswa sudah dianggap dewasa, oleh sebab itu selayaknya diberi kepercayaan untuk mengatur dirinya sendiri dalam menentukan masa depannya. Disini juga terlihat kepentingan agar mahasiswa kembali lagi ke kampus masing-masing, mahasiswa digiring untuk kembali ke “kandangnya” dan dilarang untuk kritis melihat kondisi bangsanya. Dengan kata lain mahasiswa sengaja dijauhkan dari kehidupan rakyatnya.

Pertanyaan yang kedua, apakah mahasiswa merasa aman dan nyaman dengan diberlakukannya 75% kehadiran tersebut??? Hampir pasti 99,9 dari 100 jumlah mahasiswa akan menjawab T.I.D.A.A.A.AK.!.!.! Kenapa bisa terjadi demikian, karena peraturan tersebut bisa mengganggu atau menghambat mahasiswa yang ingin belajar sesuatu yang lain diluar bangku kuliah yang justru tak didapat di dalam kelas (misal : berorganisasi di BEM, pelatihan Jurnalistik, mengikiti seminar dll.). Sudah jelas dengan peraturan tersebut mahasiswa akan merasa tidak aman atau tidak nyaman bila ingin mencari ilmu dan pengalaman yang lain karena takut bila tidak dapat mengikuti Ujian.

Pertanyaan ketiga adalah, benarkah dalam penerapan peraturan kehadiran 75% sudah berlaku adil atau menciptakan keadilan? Tentu jawabannya relatif beragam tergantung siapa yang dikenai pertanyaan, tapi paling tidak saya mempunyai jawaban tersendiri soal itu dan jawaban saya lagi-lagi adalah T.I.D.A.K A.D.I.L. Mengapa saya mengatakan tidak adil? Yang pertama karena peraturan tersebut dibuat dengan sepihak tanpa adanya keterlibatan mahasiswa untuk merumuskan peraturan itu. Kita tahu bahwa sumber pemasukan terbesar sebuah Universitas adalah mahasiswa, mahasiswalah yang membayar. Dan dengan uang tersebut pihak kampus bisa menggaji dosen, karyawan, membangun gedung baru serta bisa menutupi biaya operasional tapi kenapa mahasiswa tidak dilibatkan dalam pembuatan peraturan-peratuan atau menentukan kebijakan??? Saya yakin, tanpa adanya mahasiswa maka kampus tidak akan bisa menyelenggarakan proses pendidikan. Yang kedua bahwa ternyata peraturan wajib hadir 75% hanya berlaku tajam bagi mahasiswa saja, mahasiswa yang tidak memenuhi batah minimum kehadiran diancam kengan nilai atau tidak bisa mengikuti ujian sedangkan bagi dosen yang membolos tidak dikenakan sanksi apapun. Para dosen masih tetap bisa menikmati Gaji Buta mereka meskipun mereka tidak mengajar atau membolos. Tentunya ini merupakan bentuk-bentuk ketidak adilan yang nyata dapat kita lihat bukan???

Pertanyaan terakhir adalah apakah peraturan 75% kehadiran dapat mensejahterakan pihak-pihak yang dikenai peraturan? Untuk yang satu ini jawabannya saya serahkan kepada sidang bembaca yang budiman, karena saya menganggap kawan-kawan sudah dewasa dan dapat menilai atau memberikan jawaban yang jauh lebih obyektif dibandingkan jawaban-jawaban saya tadi..heee

Hanya saja saya memberikan kesimpulan bahwa “prestasi tak selamanya ditentukan oleh presensi dan presensi bukanlah satu-satunya penentu kesuksesan kita”. Yang ngaku mahasiswa atau aktifis pergerakan ayo tunjukan aksimu!!!

0 komentar:

Posting Komentar