twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa

Kampus begitu identik dengan mahasiswa dan juga tempat atau pusat pencarian ilmu ditingkat yang paling tinggi, dengan kata lain kampus bisa dikatakan sebagai tempat berkumpulnya intelektual-intelektual untuk mencari dan mengembangkan berbagai bidang ilmu. Waktu saya masih kecil dan ketika saya mendengar kata mahasiswa, yang terlintas dalam pikiran saya adalah orang yang menyandang “gelar” mahasiswa adalah orang yang sangat cerdas, orang yang seba tahu tentang berbagai bidang ilmu. Dalam benak saya waktu itu, yang namanya “Maha” itu pasti mempunyai suatu kelebihan dibandingkan dengan yang lain.

Seiring berjalannya waktu dan ketika saya menduduki bangku kuliah (numpang duduk coy..hehehe), ternyata apa yang saya pikirkan ketika itu tidak seperti kenyataanya ketika saya mengalami sendiri. Ternyata sebagian besar mahasiswa tidak benar-benar ‘maha’ tahu dengan berbagai ilmu yang ada atau yang dipelajarinya.
Ketika saya amati, ternyata sekarang ini kampus hanya bisa menciptakan intelektual kuli bukan lagi menciptakan intelektual progresif. Lho kok bisa??? Ayo coy kita diskusikan bareng-bareng…

Kenapa bisa dianggap pencipta intelektual kuli dan bukan intelektual progresif ???

Yang pertama; kalau kita lihat, sekarang ini orientasi yang berkembang di masyarakat, dan juga mahasiswa adalah bagaimana kita kuliah bisa cepat lulus dengan nilai yang baik dan setelah itu kita bisa mencari kerja (menjadi kuli) dengan ijasah itu. Melamar kerja di berbagai instansi adalah orientasi yang kini tertanam kuat didalam otak mahasiswa, tak ada lagi terbesit keinginan untuk bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri atau menciptakan lapangan kerja untuk orang lain. Khusus di FKIP dimana mahasiswa dipersiapkan menjadi calon-calon guru ternyata keadaannya pun demikian, orientasi mereka hanyalah bagaimana bisa menjadi guru dan diangkat sebagai pegawai negeri. Tak ada salahnya memang menjadi guru (buruh berpakaian rapi), tapi yang harus diingat bahwa, ketika kita menjadi guru bukan berarti kita kehilangan daya kritis kita terhadap permasalahan yang ada khususnya dunia pendidikan.

Yang kedua; kenapa saya mengatakan kampus saat ini hanya bisa menciptakan intelektual kuli? Alasanya adalah bahwa mahasiswa saat ini selalu dipaksa layaknya budak untuk bisa menelan mentah-mentah materi yang diajarkan oleh dosen, tak ada kesempatan diluar kelas untuk bisa mengembangkan materi-materi yang ada atau tak ada waktu untuk sekedar berdiskusi panjang lebar antara dosen dan mahasiswa tentang materi yang dipelajari. Penerapan kehadiran 75% juga menghambat pembelajaran mahasiswa untuk bisa belajar hal-hal lain yang diminatinya diluar matakuliah. Ketika mahasiswa pintar, yang dikuasai hanyalah materi-materi yang diajarkan didalam kelas dan telah ditentukan oleh pihak kampus, tanpa adanya pengembangan diluar.

Mahasiswa berbeda dengan siswa, dimana mahasiswa dianggap lebih mempunyai banyak pengetahuan dibanding siswa (analisa dilihat dari namanya coy). Oke lah kalau yang namanya siswa kita anggap emosinya masih labil makanya siswa lebih banyak diatur-atur oleh guru atau pihak sekolah dengan peraturan-peraturan yang begitu ketat agar tidak membahayakan diri sang anak. Walau saya pribadi juga melihatnya peraturan yang begitu ketat dan kaku sebagai bentuk pengekangan siswa untuk berekspresi atau dengan kata lain tidak memerdekakan jiwa sang anak.

Tapi bagaimana dengan mahasiswa? Menurut saya bolehlah didalam kampus ada peraturan-peraturan yang diciptakan untuk ketertiban bersama, tapi perlu diingat bahwa ketika kita masuk dunia kampus dan menjadi mahasiswa maka kita bisa dikatakan telah dewasa, hal ini bisa ditinjau dari rata-rata umur mahasiswa ketika memasuki jenjang perguruan tinggi. Ketika kita telah dianggap dewasa semestinya kita juga sudah dapat menguasai emosi atau dalam hal ini emosi sudah bisa dikatakan stabil dan kita juga sudah pandai minilai dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk buat diri mahasiswa. Termasuk bisa menilai prioritas langkah dan apa yang harus kita perbuat untuk bisa menambah ilmu yang sesuai dengan minat kita dan yang kita butuhkan kelak. 75% kehadiran menurut saya merupakan salah satu faktor penghambat bagi mahasiswa untuk bisa mencari ilmu-ilmu lain diluar kelas yang bisa bermanfaat untuk diri mahasiswa ketika terjun di masyarakat kelak, disisi lain hal ini akan menjauhkan mahasiswa dari pergaulan di masyarakat dan membutakan mahasiswa atas apa yang terjadi disekelilingnya. 75% kehadiran juga menghambat mahasiswa untuk bisa berpolitik, berserikat dan berkumpul. Apa iya mahasiswa mau terus-terusan diatur-atur layaknya anak kecil???

Seseorang bisa dikatakan intelektual progresif jika mereka mau dan mampu melakukan perubahan kearah yang lebih baik dengan kemampuan dan ilmu serta pengalaman yang didapat, berani mengatakan salah pada yang salah dan mengatakan benar pada yang benar meskipun itu semua mengandung resiko yang tak ringan. Dan sekarang sedikit sekali intelektual-intelektual yang vokal menyuarakan kebenaran dan berani melakukan perubahan. Hal ini tak lepas dari pengaruh budaya kampus yang sengaja mengkebiri mahasiswa agar tak lagi vokal menyuarakan pendapat dan kritis dalam menganalisa masalah disekitarnya. Itulah kenapa kampus saat ini tidak lagi mampu menciptakan intelektual progresif tapi lebih menciptakan para intelektual kuli yang hedonis dan lebih mementingkan diri sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar