twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa


Oleh :EDI SUSILO*


"Tetapi Republik Indonesia menghadapkan kita dengan satu keadaan jang istimewa. Rakjat adalah beraneka ragam, beraneka adat, beraneka ethnologi. Rakjat yang demikian itu membutuhkan satu "dasar pemersatu". Dasar pemersatu itu adalah Pantjasila."
[Ir. Sukarno, dalam suatu sambutan tanggal 17 Agustus 1955]

"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
:::
Demikian kata alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang telah menegaskan cita-cita nasional dari sebuang bangsa Indonesia yang Merdeka dan Berdaulat atas dasar Pancasila. 66 tahun lalu, hanya dua bulan jelang kelahiran Republik baru bernama Indonesia, Bung Karno membacakan pidato bersejarah di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Peristiwa itu kemudian dikenang sebagai hari lahirnya Pancasila.
Saat itu, Bung Karno berbicara Pancasila sebagai Philosofische Grondslag, yaitu sebuah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa-hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan bangunan Indonesia yang merdeka kekal-abadi. Di situ amat terang, dikatakan ada lima prinsip yang mendasari kemerdekaan Indonesia, yaitu kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan Yang Maha Esa. Lima azas ini ditetapkan Bung Karno sebagai pondasi mendirikan negara Indonesia merdeka.
Jika kelima azas atau prinsip itu seksama ditelaah, maka secara utuh menentang atau bertentangan dengan neoliberalisme. Pancasila menomorsatukan kebangsaan Indonesia, neoliberalisme hendak membunuh perasaan kebangsaan itu dimana saja. Pancasila mendasarkan kemanusiaan dan internasionalisme, neoliberalisme memuja logika profit dan ketaksetaraan global. Pancasila mengutamakan mufakat dan demokrasi kerakyatan, neoliberalisme mengutamakan demokrasi liberal atau demokrasi bagi para pemilik uang. Pancasila berdasarkan pada kesejahteraan sosial, neoliberalisme mengacu kemakmuran bagi segelintir orang di satu sisi dan pemiskinan mayoritas rakyat pada sisi lain.
Sejak orde baru berkuasa hingga kini, Pancasila hanya dikemas sebagai ideologi pajangan semata, tapi praktik dan pengamalannya nihil. Pancasila direduksi sedemikian rupa, menjadi sekian butir-butiran sifat yang harus dihafal di sekolah-sekolah. Sekarang, pendidikan Pancasila sudah jadi kenangan dari kurikulum pelajaran, hanya disubkan dengan mata pelajaran lain. Kalaupun Pancasila masih diangggap ada, maka itu tidak lebih dari seekor burung garuda yang masih bertengger di dinding-dinding kantor pemerintahan.
Ignas Kleden, seorang intelektual Indonesia terkemuka, pernah mengatakan bahwa ada dua hal yang hingga saat ini masih mempersatukan Indonesia sebagai bangsa dan negara, yaitu: Pancasila dan Bahasa Indonesia.
Ada benarnya Ignas demikian. Terlepas dari begitu banyak pendistorsian, Pancasila tetap menjadi perisai paling ampuh bangsa Indonesia untuk mempertahankan negara kesatuan dari niatan mendirikan negara agama, konflik etnis, dan lain sebagainya.
Pancasila bukan sekedar untuk menjaga persatuan, tetapi sebagai Weltanschauung-nya Indonesia merdeka.[2] Jadi, lima azas itulah yang akan menjadi spirit untuk mencapai tujuan nasional: Menghapuskan penindasan manusia atas manusia (exploitation de I’Homme par I’Homme) dan penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation).
"Lahirnya Pantjasila, Membangun Dunia Kembali, dan Penfjelasan Manipol/Usdek adalah merupakan rangkaian jang sangkut bersangkut untuk harus kita ketahui dalam alam sekarang ini jaitu untuk menudju masjarakat Sosialis Indonesia."  Demikian kutipan dari buku "Seri Tanja-Djawab Buku2 Manipol: 260 Tanja Djawab Lahirnja Pantjasila, Membangun Dunia Kembali (to build the world new), Pendjelasan Manipol-Usdek". Penerbit Miswar Djakarta, tjetakan pertama, 1965" hal. 7)
Banyak orang di kalangan gerakan dan intelektual yang cukup kaget saat mengetahui Pancasila coba diangkat Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dari "lumpur kenistaan" ke tempat yang lebih bersih, terang dan tinggi. Sebagiannya malah keblinger, menuduh LMND sudah bergeser tidak lagi progresif dan berjuang bersama rakyat,  LMND sudah ditunggangi agen intel negara, LMND akan menjadi organisasi reaksioner, LMND akan melakukan penataran P4 layaknya di zaman kegelapan dahulu, dan lain sebagainya. Namun, semua itu justru menyiratkan pendeknya ingatan kolektif rakyat kita tentang Pancasila. Sangat disayangkan hanya Pancasila yang "kanan", Pancasila yang "pembunuh", dan Pancasila yang "bengis" ala Jenderal Suharto yang masih pekat, bukan Pancasila yang sesuai pendiri dan penggali azas bangsa, Ir. Sukarno: Pancasila yang revolusioner dan Progresif.
Stigma negatif “kanan” Pancasila diperoleh dari hasil pendistorsian panjang Orde Baru. Karena banyak aktivis dan intelektual oposan kerap menjadi korban represi/intimidasi dari kelompok-kelompok yang mengklaim membela Pancasila. Adalah wajar bila trauma akibat aroma Pancasila atau azas tunggal masih lekat. Nasib tragis selama Orde Baru belum hilang, masih dibawa-bawa sehingga menjadi beban psikologis (semacam mental blocking) sampai sekarang.
Bukan salah kaum muda yang lahir di zaman Orde Baru jika mereka tak mampu mengingat Pancasila-nya Ir. Sukarno. Tetap yang salah adalah Jenderal Suharto. Jenderal berbintang itu telah mendistorsi esensi Pancasila selama 32 tahun (1965-1998). Selama itu pula Pancasila tampil dalam raut wajah yang bengis dan kejam. Namun, seperti kita menghadapi penyakit-penyakit mental umumnya, trauma yang diderita akibat Pancasila Orde Baru tidak boleh dipersalahkan, apalagi dihakimi yang seharusnya dilakukan adalah mengobatinya (healing). Jika diurai lebih lanjut sebenarnya trauma terhadap Pancasila berakar pada dua hal sebagai berikut:

1. Devide et impera antara Pancasila dengan Kaum Kiri (Progresif)
Pada pertengahan tahun 1965-1967, selagi Jenderal Suharto tengah melakukan "kudeta merangkak" (creeping coup,- pen),[3] ia menyempatkan menetapkan tanggal 1 Oktober 1965 sebagai Hari Kesaktian Pancasila lewat aparatusnya, Menteri/Panglima Angkatan Darat.[4] Narasi tunggal yang hendak didesainnya itu seakan-akan Pancasila sebagai dasar negara berusaha diserang oleh kaum kiri, dan ialah satu-satunya pahlawan penyelamat Pancasila. Berdalih penyelamatan itu, Sang Jenderal seperti mendapat restu untuk membunuh secara massal ratusan ribu sampai jutaan kaum kiri di Indonesia hanya dalam waktu 3 tahun. Kesuksesan strategi adu domba itu diteruskan untuk selama masa 32 tahun berikutnya, di mana Pancasila selalu dijadikan dalil pembenar untuk membungkam sisa-sisa kaum kiri (yang selamat dari pembunuhan massal atau bebas dari penjara/kamp kerja paksa) ataupun kaum kiri baru yang lahir di era 1980an (seperti PRD). Maka dari itu, kita boleh saja untuk ke depannya membulatkan tekad, mengusulkan untuk pergantian nama tanggal 1 Oktober dari Hari Kesaktian Pancasila menjadi Hari Kesaktian Orde Baru.

2. Pembohongan Asal Usul Pancasila
Sebuah kepalsuan pun dinyatakan ribuan kali agar bermutasi diterima publik. Itulah teknik Menteri Propaganda Nazi Jerman Goebbels. "Big Lie", biasa disebutnya. Ini ternyata dipraktikkan sangat baik oleh Jenderal Suharto selama 32 tahun mahkota dikepalanya. Distorsi intensif sang Jenderal tentang tanggal lahir dan penggali sejati Pancasila lewat Pelajaran Sejarah di sekolah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) dan penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Orde Baru menyebut, tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari lahir Pancasila, sedang Mr. Mohammad Yamin penggalinya. Padahal sebenarnya, Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945 dan Ir. Sukarno adalah penggalinya. Jelas sekali ini adalah upaya sistemik de-Sukarnoisasi. Meski kemudian kebohongan ini sempat dibantah oleh testamen Dr. Mohammad Hatta tahun 1976. Orde Baru tetap tak bergeming, hingga Reformasi menggulingkannya dan  setelah itu penataran P-4 dibubarkan, PSPB dicabut, dsb.
Dapat dirangkai dari kedua akar di atas, bahwa trauma terhadap Pancasila sejatinya disebabkan oleh mega proyek de-Sukarnoisasi Orde Baru. Taktik Orde Baru ini pun bukan tanpa alasan yang strategis, mengingat betapa kuatnya persatuan antara kaum kiri bersama Ir. Sukarno menjelang 1965. Pada masa itu kaum kiri adalah pendukung sejati Ir. Sukarno, karenanya untuk melumpuhkan politik Ir. Sukarno, kaum kiri harus dipisahkan darinya dan dihabisi terdahulu. Barulah Ir. Sukarno menjadi lemah dan mudah digulingkan, setelah terlebih dahulu diisolasi dari rakyat yang menjadi energi perjuangannya sejak muda.
Akhirnya sejarah mencatat, bahwa Pancasila yang awalnya dilahirkan Ir. Sukarno untuk memerangi imperialisme dan kolonialisme, berdistorsi menjadi alat yang digunakan Jenderal Suharto tanpa keadilan mempersilahkan datangnya penjajahan gaya baru selama 32 tahun dan tanpa kemanusiaan menghabisi lawan-lawan politiknya.

Pancasila untuk Persatuan
Nasional Anti Neoliberal
"Lima Sila ini kalau disatukan menjadi kepal akan menjadi tinju untuk menunju imperialis, lawan-lawan bejat, lawan-lawan kemerdekaan, penjajah yang menjajah Indonesia. Ini kepal rakyat Indonesia yang bersatu!"  demikian cuplikan pidato Soemarsono, pimpinan Pemuda Republik Indonesia dan kader Partai Komunis Indonesia pada tanggal 21 September 1945 di tengah RAPAT SAMUDERA yang dihadiri 150 ribu massa Marhaen di Stadion Tambaksari. Dikutip dari Buku Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, penerbit Hasta Mitra, 2008, hal. 37
Obat dari trauma rakyat terhadap Pancasila hanyalah pembangkitan kembali ingatan kolektif perjuangan rakyat merebut (kembali) kedaulatan nasional sepanjang periode 1945-1965. Ingatan suram tentang Pancasila yang "reaksioner" di masa Orde Baru harus ditinggalkan, sedangkan ingatan tentang Pancasila yang "revolusioner" di masa Ir. Sukarno harus terus menerus digali kembali.
Pancasila yang akan kita emban bukanlah Pancasila-nya Orde Baru yang mengizinkan ExxonMobil, Freeport, Chevron, Inco, Vico, BHP Billiton, Thiess, ConocoPhilips, GoodYear, Total, Newmont, dll menjajah kekayaan alam bangsa. Pancasila yang kita ingin munculkan kembali adalah yang digunakan oleh Ir. Sukarno sebagai "pembenaran" untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, mengusir modal asing yang menghisap jauh-jauh dari bumi Indonesia (dengan atau tanpa ganti rugi). Jika dikontekstualisasi ke zaman ini mungkin tidak akan jauh berbeda: bukan Pancasila yang mengabdi kepada rezim neoliberalisme, tetapi Pancasila yang mendamba akan kedaulatan nasional sepenuhnya demi keadilan sosial seluas-luasnya menuju sosialisme Indonesia.
Dengan perkataan lain, Pancasila yang akan kita amalkan harus memiliki semangat anti penjajahan, anti penghisapan manusia atas manusia ataupun penghisapan bangsa atas bangsa, semangat pembebasan nasional menuju cita-cita sosialisme Indonesia seperti digariskan oleh Pembukaan UUD 1945.
Dengan berpegangan pada Pembukaan UUD 1945, kita dapat merangkum setiap esensi dari perjuangan anti neoliberal di semua sektor rakyat ke dalam butir-butir Pancasila. Dari sari-sari perjuangan kita di lapangan perburuhan, kaum miskin perkotaan, petani, hingga mahasiswa-pelajar dan kebudayaan dapat kita sempalkan semua ke dalam Pancasila. Dan masing-masing sektor dapat saling mendukung perjuangan di sektor lainnya secara bahu membahu, holobis kuntul baris. Inilah watak sejati Pancasila yang lebih dikenal sejak masa nenek moyang kita dengan istilah gotong royong (Pada sidang di mana Ir. Sukarno berpidato tentang Pancasila tanggal 1 Juni 1945, ia diminta oleh pimpinan sidang untuk memerah Pancasila (5) menjadi Trisila (3) dengan pertimbangan lima sila masih terlalu panjang. Ia menyanggupi dan menyebutkan Trisila, yaitu Sosio-demokrasi, Sosio-nasionalisme, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Namun pimpinan sidang masih kurang puas dan menantang Ir. Sukarno apakah dapat memerah tiga sila menjadi satu sila saja. Dan Ir. Sukarno kembali menyanggupi, ia menyebut Gotong Royong).
Semisal dalam soal outsourcing dan sistem kerja kontrak, kita akan bilang bahwa konsep labour flexibility milik neoliberal tersebut bertentangan dengan pengamalan Sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sekaligus Sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Atau semisal juga tentang maraknya penggusuran kampung kumuh di perkotaan yang mengekspresikan program City Without Slump milik neoliberal, kita juga dapat bilang itu melanggar sila kedua dan kelima. Artinya, sepanjang Pemerintah melalui Menakertrans masih "mengamalkan" sistem outsourcing dan kontrak yang menghisap kaum buruh se-Indonesia; atau sepanjang Negara melalui aparatusnya masih rajin "mengamalkan" penggusuran terhadap anak jalanan dan perkampungan kumuh, sepanjang itu jualah mereka dengan sengaja telah melanggar Pancasila sila kedua dan kelima sekaligus. Menjadi sah jika kita jatuhkan tudingan bahwa Pemerintahan SBY-Budiono adalah musuh Pancasila, karena masih membiarkan kaum buruh Indonesia bergelimang dalam perbudakan modern; Rezim adalah musuh pancasila karena tidak pernah melindungi hak hidup warga miskin. Gampangnya, kalau mereka tetap menjalankan kebijakan neoliberal maka mereka adalah musuh bersama kaum buruh dan kaum miskin kota, musuh mahasiswa lebih luasnya musuh masyarakat Indonesia karena mengkhianati pancasila. Dan akhirnya saya sampai pada Kesimpulan akhir bahwa Neoliberalisme dan semua operatornya adalah musuh Pancasila; dan semua kaum yang dirugikan (oleh neoliberal) wajib bergotong royong bersatu dalam aksi menentangnya.


***
BELAJAR, BERSATU DAN BERJUANG UNTUK INDONESIA MANDIRI, BERDAULAT DAN BERKEPRIBADIAN


 *Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Eksekutif Wilayah DI Yogyakarta

 
[1]  Makalah ini disampaikan dalam Seminar Pancasila: Meneguhkan Kembali Nilai-Nilai Pancasila Ditengah Terjangan Idiologi Asing oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 11 Juni 2011.
[2] Lihat pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945.
[3] Lihat buku terbaru John Roosa tentang Dalih Pembunuhan Massal.
[4] Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tanggal 17 September 1966 (Kep. 977/9/1966).


  1. Uang Tip: Sama dengan 'budaya amplop' yakni memberikan uang ekstra kepada seseorang karena jasanya/pelayanannya. Istilah ini muncul karena pengaruh budaya Barat yakni pemberian uang ekstra kepada pelayan di restoran atau hotel.
  2. Angpao: Pada awalnya muncul untuk menggambarkan kebiasaan yang dilakukan oleh etnis Cina yang memberikan uang dalam amplop kepada penyelenggara pesta. Dalam perkembangan selanjutnya, hingga saat ini istilah ini digunakan untuk menggambarkan pemberian uang kepada petugas ketika mengurus sesuatu di mana pemberian ini sifatnya tidak resmi atau tidak ada dalam peraturan.
  3. Uang Administrasi: Pemberian uang tidak resmi kepada aparat dalam proses pengurusan surat-surat penting atau penyelesaian perkara/kasus agar penyelesaiannya cepat selesai.
  4. Uang Diam: Pemberian dana kepada pihak pemeriksa agar kekurangan pihak yang diperiksa tidak ditindaklanjuti. Uang diam biasanya diberikan kepada anggota DPRD ketika memeriksa pertanggung jawaban walikota/gubernur agar pertanggung jawabanya lolos.
  5.  Uang Bensin: Uang yang diberikan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikan oleh seseorang. Istilah ini menggambarkan ketika seseorang yang akrab satu sama lain, seperti antara temen satu dengan yang lain. Misalnya A minta bantuan B untuk membeli sesuatu, si B biasanya melontarkan pernyataan, uang bensinya mana ?
  6.  Uang Pelicin: Menunjuk pada pemberian sejumlah dana (uang) untuk memperlancar (mempermudah) pengurusan perkara atau surat penting.
  7. Uang Ketok: Uang yang digunakan untuk mempengaruhi keputusan agar berpihak kepada pemberi uang. Istilah ini biasanya ditujukan kepada hakim dan anggota legislatif yang memutuskan perkara atau menyetujui/mengesahkan anggaran usulan eksekutif, dilakukan secara tidak transparan.
  8. Uang Kopi: Uang tidak resmi yang diminta oleh aparat pemerintah atau kalangan swasta. Permintaan ini sifatnya individual dan berlaku di masyarakat umum.
  9. Uang Pangkal: Uang yang diminta sebelum melaksanakan suatu pekerjaan/kegiatan agar pekerjaan tersebut lancear.
  10. Uang Rokok: Pemberian uang yang tidak resmi kepada aparat dalam proses pengurusan surat-surat penting atau penyelesaian perkara/kasus penyelesaianya cepat.
  11. Uang Damai: Digunakan ketika menghindari sanksi formal dan lebih memberikan sesuatu biasanya berupa uang/materi_ sebagai ganti rugi sanksi formal.
  12. Uang di Bawah Meja: Pemberian uang tidak resmi kepada petugas ketika mengurus/membuat surat penting agar prosesnya cepat.
  13. Tahu Sama Tahu: Digunakan di kalangan bisnis atau birokrat ketika meminta bagian/sejumlah uang. Maksud antara yang meminta dan yang memberi uang sama-sama mengerti dan hal tersebut tidak perlu diucapkan.
  14. Uang Lelah: Menunjuk pada pemberian uang secara tidak resmi ketika melakukan suatu kegiatan. Uang lelah ini bisanya diminta oleh orang yang diminta bantuanya untuk membantu orang lain. Istilah ini kemudian sering digunakan oleh birokrat ketika melayani masyarakat untuk mendapatkan uang lebih.


    WASPADALAH...WASPADALAH...!!!