twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa

Oleh : Suli [2]

Pengantar
Ujian Penilaian Pendidikan di Indonesia :

Periode 1950-1960-an
Ujian akhir disebut Ujian Penghabisan. Ujian Penghabisan diadakan secara nasional dan seluruh soal dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh soal dalam bentuk esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian, tetapi di pusat rayon.

Periode 1965-1971
Semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah pusat pula yang menentukan waktu ujian.

Periode 1972-1979
Pemerintah memberi kebebasan setiap sekolah atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan proses penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau kelompok. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum.

1980-2000
  • Mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata pelajaran pokok, sedangkan EBTA untuk mata pelajaran non-Ebtanas.
  • Ebtanas dikoordinasi pemerintah pusat dan EBTA dikoordinasi pemerintah provinsi.
  • Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor.
2001-sekarang
  • Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002.
  • Kelulusan dalam UAN 2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.
  • Dalam UAN 2003 siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6.
  • Dalam UAN 2004 kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi.
Selama ini penentuan batas kelulusan ujian nasional ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengambil keputusan saja. Batas kelulusan itu ditentukan sama untuk setiap mata pelajaran. Padahal karakteristik mata pelajaran dan kemampuan peserta didik tidaklah sama. Hal itu tidak menjadi pertimbangan para pengambil keputusan pendidikan. Belum tentu dalam satu jenjang pendidikan tertentu, tiap mata pelajaran memiliki standar yang sama sebagai standar minimum pencapaian kompetensi. Ada mata pelajaran yang menuntut pencapaian kompetensi minimum yang tinggi, sementara mata pelajaran lain menentukan tidak setinggi itu. Keadaan ini menjadi tidak adil bagi peserta didik, karena dituntut melebihi kapasitas kemampuan maksimalnya. Salah satu kelemahan penyelenggaraan pendidikan kita.

Realita Pendidikan yang Sarat Kritik
Menilik data-data sebagai parameter kesuksesan UN, angka kelulusan ujian nasional (UN) tingkat SMA/ MA tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dimana pada tahun 2009 angka kelulusan UN mencapai 93.74 persen, kini menjadi 89,88 persen. Jadi jumlah siswa yang mengulang UN mencapai 154.079 orang dari 1.522.162 peserta UN 2010. Jika secara data, memang terbukti ada penurunan kuantitas keberhasilan dengan berpatokan pada ujian nasional. Akan tetapi, kualitas output dari hasil Ujian Nasional tersebut masih ramai dipertanyakan. Jangankan bicara kualitas, dalam pelaksanaan UN masih sarat dengan kasus-kasus yang kontroversial.
Kontroversi kasat mata yang sampai saat ini masih marak terjadi adalah kecurangan penyelenggaran UN (mencotek, jual beli soal dan kunci jawaban, dsb) , fasilitas penunjang UN yang tidak memadai yang meliputi sering bermasalahnya kertas soal ujian maupun fasilitas penunjang lainnya. Sebenarnya seberapa seriuskah pemerintah menyelenggarakan pendidikan yang ilmiah dan berkualitas ?
Dari tahun ke tahun system pendidikan khususnya penentuan kelulusan peserta didik terus dikaji dan diubah-ubah. Seolah ada kesan arah pendidikan dan output peserta didik mau dibawa kemana, tidak pernah jelas. Ada beberapa perbedaan dalam penyelenggaraan ujian nasional tahun ini. Tidak ada ujian ulang terhadap mata pelajaran yang tidak lulus, yang ada hanya ujian susulan itu pun jika siswa yang bersangkutan sakit, atau kena musibah. Mata pelajaran yang diujikan tidak berbeda dengan tahun sebelumnya, namun ada satu mata pelajaran selama ini dilaksanakan Ujian Sekolah kini sudah di UN kan yaitu pendidikan Agama. 
Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan. Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di -UN-kan di sekolah dan di rumah.
 Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun lalu, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.

Tentang Hakikat Pendidikan
Motivasi manusia untuk belajar datang dari keinginan mereka untuk ingin tahu, mengerti dan keinginan mengembangkan diri. Jadi motivasi yang muncul dalam diri siswa untuk belajar tidak datang dari nilai yang mereka peroleh pada akhir proses pembelajaran, tapi muncul dari kesenangan dan keaktifan mereka selama proses pembelajaran (internal motivation). Selain itu motivasi dari luar (eksternal motivation) juga ikut mempengaruhi, dimana siswa dapat termotivasi melalui adanya penghargaan (reward), tapi  tidak akan termotivasi melalui sangsi (punishment).
Tiori psykologi ini telah digunakan secara meluas di negara-negara skandinavia dalam merancang sistem pendidikan mereka, salahsatunya Fillandia yang dikenal sebagai negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia. Dalam pemikiran mereka bahwa kemajuan pendiikan akan diperoleh apabila keinginan siswa untuk belajar bisa ditingkatkan dan keinginan belajar ini bisa dihasilkan bila siswa memiliki ketertarikan dan motiviasi terhadap proses pembelajaran. Memang mereka juga masih mengenal sistem nilai dalam proses pembelajaran, tapi hanya digunakan untuk mengetahui perkembangan siswa sehingga dapat mengevaluasi proses pendidikan.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Seharusnya sistem pendidikan lebih ditekankan pada pelaksanaan proses pendidikan, seperti peningkatan dan pemerataan kualitas pengajar, peningkatan fasilitas belajar, perpustakaan dan laboratorium. Proses belajar dirancang lebih atraktif dan edukatif yang mengacu kepada peningkatan ketrampilan bukan hanya intelektual. Proses belajar harus mampu memotivasi siswa untuk belajar mandiri tidak hanya bergantung kepada pengajar sebagai sumber ilmu, namun siswa harus termotivasi untuk mengembangkan pengetahuannya melalui berbagai sumber bacaan. Serta yang paling penting adalah merubah pola pikir siswa bahwa belajar bukan hanya sekedar lulus dan mendapat nilai bagus, tapi belajar harus mampu merubah prilaku untuk kehidupan lebih bagus.
Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. 
Wujudkan Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis dan Bervisi Kerayatan !

[1] Disampaikan dalam diskusi LKAT Demokrasi
[2] Ketua SMI Jogja


Dunia pendidikan memang sesalu menarik untuk diperbincangkan, kapanpun dan dimanapun. Pendidikan tak bisa lepas dari hakikat manusia untuk terus belajar hal-hal yang baru disekitarnya, namun benarkah pendidikan dinegeri tercinta ini sudah membebaskan kita untuk belajar berbagai hal yang kelak kita butuhkan?
Kebijakan dalam dunia pendidikan sekarang ini tak lepas dari adanya kontroversi yang berkembang di masyarakat, banyak kalangan yang menilai bahwa produk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak memihak kepada rakyat massa dan mnyimpang dari esensi pendidikan itu sendiri.
Kita ambil contoh Ujian Nasional (UN) yang sedang berlangsung saat ini, tidak ada orientasi yang jelas terkait adanya kebijakan penyelenggaraan ujian nasional yang diselenggarakan pemerintah. Dengan dalih menaikkan kualitas pendidikan tapi kenyataanya terjadi banyak sekali kecurangan-kecurangan yang muncul tiap kali adanya UN, dari adanya bocoran jawaban, siswa saling mencontek terjadi kong-kalikong dengan guru dan masih banyak lagi kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh murid maupun penyelenggara pendidikan yang dalam hal ini adalah guru, kepala sekolah dll.
Tujuannya sih baik, yaitu untuk meningkatkan kualitas dan sebagai barometer mutu pendidikan. Namun sayangnya pemerintah abai akan tugas pokok atau kewajiban sebagai penyelenggara pendidikan, dimana tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dengan pendidikan sebagai sarananya dan tiap-tiap warga negara berhak menerima pendidikan yang berkualitas. Sekali lagi pemerintah lalai kewajibannya, belumlah semua warga negara mampu mengenyam pendidikan tetapi pemerintah sudah berkoar-koar untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Padahal bangsa kita saat ini lebih membutuhkan kuantitas dari pada kualitas pendidikan.
Ujian Nasional merupakan kebijakan yang terlalu ambisius yang dikeluarkan oleh pemerintah dan ini jelas merupakan tindakan perkosaan dalam dunia pendidikan kita. Dimana tidak, siswa dipaksa untuk bisa mencapai standar nilai yang ditentukan oleh pemerintah, namun disisi lain pemerintah abai dan tidak mampu memenuhi unsur-unsur yang bisa digunakan oleh para siswa untuk bisa memenuhi standar nilai tersebut. Tentunya ini tidak adil bagi para siswa yang ada didaerah perpencil dimana fasilitas sangat terbatas atau malah tidak ada fasilitas penunjang seperti perpustakaan dan buku-buku pelajaran yang dapat menambah pengetahuan siswa, tentunya ini berbeda jauh dengan sekolah-sekolah yang ada di kota dengan segala fasilitasnya.
Disilah terlihat ketidak adilan dan perkosaan terhadap siswa, pemerintah lupa [atau tidak tahu] bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak dengan standar nilai akhir, melainkan proses yang harus diutamakan. Seharusnya pemerintah dapat menaikan kualitas pendidikan dengan cara memenuhi unsur-unsur atau fasilitas penunjang belajar seperti perbanyak perpustakaan dan buku-buku bacaan, penambahan fasilitas internet untuk memperkaya wawasan, perbaikan gedung serta kualitas tenaga pengajar. Apabila unsur-unsur atau sarana penyelenggara pendidikan sudah baik, maka secara tidak langsung akan menaikkan kualitas output pendidikan juga.
Apabila pemerintah menerapkan kebijakan UN dengan alasan untuk memotivasi siswa untuk lebih giat belajar, menurut saya ini adalah alasan yang mengada-ada. Jelas, lagi-lagi ini merupakan tidak pemerkosaan terhadap siswa, untuk memberikan motivasi atau membangkitkan kesadaran siswa akan pentingnya belajar bukanlah dengan cara yang seperti itu. Seharusnya semua pihak yang “sudah sadar” akan petingnya belajar, ikut memberikan pemahaman akan arti pentingnya belajar. Yang kita serang pertama kali adalah kesadaran siswa untuk mau belajar, bukan dengan cara pemaksaan semacam UN. Sebaik-baiknya kebijakan, setinggi-tingginya kualitas guru dan selengkap apapun fasilitas maka hal itu akan menjadi sia-sia belaka kalau tidak ada motivasi belajar dari siswa. Oleh karena itu sangatlah penting membangun kesadaran kolektif menuju tindakan progresif dalam dunia pendidikan.
Dalam penyelenggaraan UN juga memakan anggaran yang tidak sedikit yaitu mencapai Rp 580 Miliar, bayangkan kalau itu digunakan untuk memperbaiki gedung sekolah yang roboh atau membeli buku-buku bacaan, tentunya banyak siswa yang akan merasa nyaman dalam belajar disekolah dan akan menambah pengerahuan siswa dengan buku-buku tersebut. Dengan dana sebesar itu tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan tindak korupsi oleh para penyelenggara pendidikan, baik dari tingkat pusat hingga tingkat daerah. Tentunya kita semua hanya bisa berharap agar pemerintah segera menyadari bahwa “dalam pendidikan yang terpenting adalah proses, bukan hasil akhir”. Yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah memperbanyak dan melengkapi fasilitas pendidikan serta melakukan penyadaran kepada siswa akan pentingnya belajar, bukan melakukan perkosaan kepada siswa untuk mencapai program peningkatan mutu yang begitu ambisius tanpa memperhatikan kebutuhan dan permasalahan yang ada di sekitar kita.
Diakui atau tidak Fenomena UN merupakan momok yang menakutkan dikalangan masyarakat, pun demikian dikalangan kepala sekolah, guru, siswa hingga orang tua siswa. Apa bila ada siswa yang tidak lulus UN, hal ini menjadikan citra sekolah menurun dimata masyarakat, hal ini juga yang menjadi penyebab banyaknya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pihak sekolah dengan membantu siswa denganc cara memberikan bocoran soal ujian atau memberikan kunci jawaban kepada siswa. Bagi orang tua yang anaknya tidak lulus UN, ini dianggap iab keluarga karena dianggap tidak bisa mendidik anak atau gagal mendidik anak. Yang paling banyak mengalami katakutan dalam menghadapi UN adalah siswa itu sendiri, meskipun sudah belajar dengan giat, rasa takut dan grogi itu pasti akan muncul.
Tentunya katakutan-ketakutan ini tidak sesuai dengan semangat Bapak pendidikan kita Ki Hadjar Dewantara, yang mana dalam pemikiran beliau “pembelajaran itu harus menyenangkan dan membebaskan”. Itulah kenapa dalam masa perjuangan menuju kemerdekaan beliau mendirikan sekolah rakyat yang diberi nama Tamansiswa, ini karena beliau menginginkan suatu konsep pendidikan yang nyaman dan menyenangkan layaknya taman bunga yang indah dan siapapun akan betah berlama-lama di taman itu untuk belajar.

Oleh : Achmad Zani 1


Pluralisme agama di negeri ini merupakan realitas empirik yang tidak dapat di pungkiri. Pluralisme sejak dulu sudah dikenal sebagai potensi bangsa dan negara sehingga founding fathers, menentukan Negara bukan menjadi Negara agama atau Negara sekuler. Pilihannya tepat berada ditengah-tengah diantara keduanya. Persoalannya ialah tinggal siapa yang memperkenalkan, dan memaknai selanjutnya sehingga kenyataan pluralisme menjadi ruwet bak memendam dendam kesumat yang tidak ada hentinya.
Pilihan founding father bisa dibilang cukup tepat, untuk tidak mengatakan mutlak adanya. Apa yang bakal terjadi seandainya negeri ini di-merdeka-kan dengan bentuk Negara agama, atau Negara sekuler? Bisa jadi perpecahan, ancaman disintegrasi bangsa dan semacamnya telah bermunculan sejak awal republik ini ada. Tetapi Pilihan tersebut bisa saja berubah, seiring perkembangan dan tuntutan zaman. Pilihan untuk menjadi Negara non Agama ketika itu memang memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini untuk bersikap toleran, menghargai keberbagian dan menjunjung tinggi kemerdekaan itu. Sedangkan pilihan untuk tidak menjadi Negara sekuler jelas membuktikan bahwa negri ini rakyatnya bisa dibilang religious society, masyarakat yang ber-Tuhan, bukan masyarakat yang anti Tuhan.2
Dilain sisi, kesalahan dalam memahami suatu keadaan juga muncul pada gerakan mahasiswa, terutama dalam tubuh organisasi. Suatu permasalahan klasik yang dari generasi kegenerasi tak kunjung usai, yang menjadi pemicu dari pada suatu perselisihan antar suatu gerakan. Perselisihan biasanya muncul karena perbedaan ideologi, perbedaan cara pandang dalam menentukan haluan aliansi dan permasalahan kader.
Hal inilah yang sangat memprihatinkan didalam tubuh mahasiswa, yang secara tidak langsung akan menjadi boomerang bagi masa depan bangsa ini. Mahasiswa sebagai generasi bangsa yang seharusnya menjadi insan yang cerdas, namun kini menjadi kurang untuk mengatakan tidak. Sebenarnya akar dari permasalahan ini ialah dari faktor kebiasaan. Faktor kebiasaan dalam membiasakan mata dalam melihat, kebiasaan dalam membiasakan hati/perasaan dalam merasa dan kebiasaan dalam membiasakan otak dalam berfikir. Kemudian diisisi lain, tepatnya didalam suatu masyarakat peran mahasiswa telah dinanti-nanti kiprah dari padanya karena mereka adalah manusia yang dididik agar menjadi intelektual yang kontributif, mampu mamahami permasalahan di sekitarnya, kemudian menganalisis serta memformulasikan solusi masalah tersebut dalam bentuk nyata.3
1.     1.     Mahasiswa  UAD angkatan 2007, yang kini menjabat sebagai PRESIDEN FBEMP Yogyakarta. 
2.     2.    Th. Sumartana, dkk, pluralisme, konflik & pendidikan agama diindonesia, interfidei, Yogyakarta, 2005


Sekarang kau bebas, merdeka…
Terbang dan hinggap dimanapun kau suka
Percayalah, tak akan ada lagi
Yang akan mengusik keberadaanmu
Membentak atau memarahimu

Sekarang kau bebas, merdeka…
Untuk mengungkapkan isi hatimu
Mewujudkan semua inginmu
Dan menggapai bahagiamu

Kasih, teruslah bermimpi dan berjuang
Mewujudkan cita dan cintamu
Demi masa depan dan kebahagiaanmu

Tak usah kau pedulikan, segala tentang diriku
Karena sekarang kau sudah bebas, merdeka!!!


Seharusnya kau tahu
Kejujuranlah yang kita butuhkan
Bukan kepura-puraan, apalagi kebohongan
Seharusnya kau tahu
Yang kita butuhkan adalah Kesetiaan
Bukan kebohongan atau penghianatan

Kasihku,
Tak perlu kau takut dan malu untuk menceritakan semua
Akan sisi gelap dan kekurangan

Kasihku, jujurlah kepadaku
Dengan begitu, kau bisa mengujiku
Sejauh mana kesungguhanku mencintaimu
Dengan berterus terang, kau akan tahu
Apakah aku mampu, menerima kau
Dengan segala kelemahan dan kekuranganmu

Sekali lagi, bukan kepura-puraan
Apalagi kebohongan yang aku inginkan
Tapi kejujuran dari dalam jiwa, yang selalu aku harapkan

Sayang… dengarkanlah, syair kau tulis kulagukan
Moga jadi siulan suatu masa
Dan moga engkau kan mengerti, dengan suara indah,
Hanya itu yang mampu kuberi

Di dalam mimpiku, syair indah yang masih kubaca hangus terbakar
Dengan tak kusangka yang kumimpi rupanya terjadi, punah semuannya…

Kesepian kini menyusuri hari, syair nan dirindu kubawa bersama
Tinggallah irama terus kulagukan, kekal ia
Bersama serpihan harapan kita yang punah

Kita tak menduga dari kenalan lahir sayang hingga ku terlupa kau siapa…
Selautan kasih kukalungkan dan selautan sayang
Ku persia di persada hampa

Ya Tuhan
Kembali ku ketuk pintu-Mu
Dan bersimpuh dihadapan-Mu

Ya Tuhan
Berikanlah petunjuk-Mu
Apakah ini jalan terbaik untukku
Semula hamba pun ragu, tapi keadaan memaksaku
Aku tak bisa berbuat lain
Aku sudah cukup berusaha
Namun kenapa nasib ini belum beruntung

Ya Tuhan
Bukannya hamba tak bersyukur kepada-Mu
Tapi, salahkah hamba ingin yang lebih dari itu
Maafkan hamba-Mu ya Robbi

Pudar sudah sinaran cinta
Yang dulu terasa kehangatannya
Mungkin ia dugaan semata
Atau berakhirnya cinta yang kita bina

Termenung dalam gelisah …
Kudekap potret cinta ini
Terimbas kini di memoriku
Saat kita bersama… cinta

Dalam rindu kugenggami
Cinta itu yang penuh duka
Tercoret kata memilukan aku
Membacanya dalam gemetar

Antara kita tiada bahagia
Percintaan menduga waktu
Meniti hari-hari, tiada persamaan
Mengapa kita teruskan, menipu diri

Waktu dirintang segala derita
Untukmu kekasih, kukorbankan
Jiwa dan raga aku serahkan, apalah daya
Berpisah kita akhirnya