twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa



kau lempar aku dalam gelap
hingga hidupku menjadi gelap
kau siksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras
kau paksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak
darah sudah kau teteskan
dari bibirku
luka sudah kau bilurkan
ke sekujur tubuhku
cahaya sudah kau rampas
dari biji mataku
derita sudah naik seleher
kau menindas
sampai
di luar batas
Wiji Thukul,17 November 1996


aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
Wiji Thukul.18 juni 1997
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan/di sana bersemayam kemerdekaan/apabila engkau memaksa diam/aku siapkan untukmu: pemberontakan!



Seperti biasa Rudi, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD  yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.


"Kok, belum tidur?" sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya, Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang
keluarga, Imron menjawab, "Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?"
"Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?"


"Ah, enggak. Pengen tahu aja." "Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam
dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?"

Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.


"Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong," katanya.
"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok," perintah Rudi. Tetapi Imron tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, "Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?"
"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah."


"Tapi, Ayah..." Kesabaran Rudi habis. "Ayah bilang tidur!" hardiknya mengejutkan Imron. Anak kecil itu pun
berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil
memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.


Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, "Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok' kan
bisa. Jangankan Rp 5.000,- lebih dari itu pun ayah kasih." "Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku
kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini."

"Iya,iya, tapi buat apa?" tanya Rudi lembut. "Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp
40.000,-, maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-. Makanya aku mau
pinjam dari Ayah," kata Imron polos.

Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.

Saya tidak tahu apakah kisah di atas fiktif atau  kisah nyata. Tapi saya tahu kebanyakan anak-anak orang kantoran maupun wirausahawan saat ini memang merindukan saat-saat bercengkerama dengan orang tua mereka. Saat dimana mereka tidak merasa "disingkirkan" dan diserahkan  kepada suster, pembantu atau sopir. Mereka tidak butuh uang yang lebih  banyak. Mereka ingin lebih dari itu. Mereka ingin merasakan sentuhan  kasih-sayang Ayah dan Ibunya. Apakah hal ini berlebihan? Sebagian besar wanita karier yang nampaknya menikmati emansipasi-nya, diam-diam menangis dalam hati ketika anak-anak mereka lebih dekat dengan suster, supir, dan  pembantu daripada ibu kandung mereka sendiri. Seorang wanita muda yang menduduki  posisi asisten manajer sebuah bank swasta, menangis pilu ketika menceritakan bagaimana anaknya yang sakit demam tinggi tak mau dipeluk ibunya,
tetapi berteriak-teriak memanggil nama pembantu mereka yang sedang mudik  lebaran.


Kesalahpahaman 1
Beberapa orang tidak bisa sukses karena latar belakang, pendidikan, dan lain-lain. Padahal, setiap orang dapat meraih keberhasilan. Ini hanya bagaimana mereka menginginkannya, kemudian melakukan sesuatu untuk mencapainya.

Kesalahpahaman 2--
Orang-orang yang sukses tidak melakukan kesalahan. Padahal, orang-orang sukses itu justru melakukan kesalahan sebagaimana kita semua pernah lakukan Namun, mereka tidak melakukan kesalahan itu untuk kedua kalinya.

Kesalahpahaman 3--
Agar sukses, kita harus bekerja lebih dari 60 jam (70, 80, 90...) seminggu. Padahal, persoalannya bukan terletak pada lamanya anda bekerja. Tetapi bagaimana anda dapat melakukan sesuatu yang benar.

Kesalahpahaman 4--
Anda hanya bisa sukses bila bermain sesuatu dengan aturan. Padahal, siapakah yang membuat aturan itu? Setiap situasi membutuhkan cara yang berbeda. Kadang-kadang kita memang harus mengikuti aturan, tetapi di saat lain andalah yang membuat aturan itu.

Kesalahpahaman 5--
Jika anda selalu meminta bantuan, anda tidak sukses. Padahal, sukses jarang sekali terjadi di saat-saat vakum. Justru, dengan mengakui dan menghargai bantuan orang lain dapat membantu keberhasilan anda. Dan, sesungguhnya ada banyak sekali orang semacam itu.

Kesalahpahaman 6--
Diperlukan banyak keberuntungan untuk sukses. Padahal, hanya dibutuhkan sedikit keberuntungan. Namun, diperlukan banyak kerja keras, kecerdasan, pengetahuan, dan penerapan.

Kesalahpahaman 7--
Sukses adalah bila anda mendapatkan banyak uang. Padahal, uang hanya satu saja dari begitu banyak keuntungan yang diberikan oleh kesuksesan. Uang pun bukan jaminan kesuksesan anda.

Kesalahpahaman 8--
Sukses adalah bila semua orang mengakuinya. Padahal, anda mungkin dapat meraih lebih banyak orang dan pengakuan dari orang lain atas apa yang anda lakukan. Tetapi, meskipun hanya anda sendiri yang mengetahuinya, anda tetaplah sukses.

Kesalahpahaman 9--
Sukses adalah tujuan. Padahal, sukses lebih dari sekedar anda bisa meraih tujuan dan goal anda. Katakan bahwa anda menginginkan keberhasilan, maka ajukan pertanyaan "atas hal apa?"

Kesalahpahaman 10--
Saya sukses bila kesulitan saya berakhir. Padahal, anda mungkin sukses, tapi anda bukan Tuhan. Anda tetap harus melalui jalan yang naik turun sebagaimana anda alami di masa-masa lalu. Nikmati saja apa yang telah anda raih dan hidup setiap hari sebagaimana adanya.

(diadaptasi dari "The Top 10 Misconceptions About Success", Jim M. Allen. CoachJim.com)



 


Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam  Al Ghozali mengajukan 6 pertanyaan.

Pertama,"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?".

Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman,dan kerabatnya.  Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. tetapi yang paling  dekat  dengan kita adalah  "MATI". Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti  akan mati. (Ali Imran 185)
 
Pertanyaan kedua "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?".

Murid -muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan  bintang-bintang. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang  mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah MASA LALU.  Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari  yang  akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
 
Pertanyaan yang ke tiga. "Apa yang paling besar di dunia ini?".

Murid-muridnya ada yang menjawah gunung, bumi,dan matahari. Semua  jawaban  itu benar kata Imam Ghozali.  Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "NAFSU" (Al
A'Raf  179)
.  Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa  kita ke neraka.
 
Pertanyaan ke empat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?".

Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban itu benar, kata Imam  Ghozali.  Tapi yang paling berat adalah "memegang AMANAH" (Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini.Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT,sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang  amanahnya.

Pertanyaan yang ke lima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?".
 
Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar  kata  Imam Ghozali. Tapi yang paling ringan di dunia ini adalah MENINGGALKAN  SHOLAT. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan sholat, gara-gara meeting  kita  tinggalkan sholat.
 
Lantas pertanyaan ke enam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia  ini?".

Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang... Benar kata Imam  Ghozali. Tapi yang paling tajam adalah "LIDAH MANUSIA".  Karena melalui lidah, Manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan
melukai perasaan saudaranya sendiri.

 
 


Oleh : Muhammad Setiawan

Pendahuluan

Filsafat adalah berfikir radikal. Berfikir radikal adalah berfikir hingga ke “radik”, akar. Jadi berfikir filsafati dalam pendidikan adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari pendidikan. Pertanyan filsafati biasanya berkisar pada tiga hal; ontologis, epistomologis dan aksiologis. Pertanyaan ontologis adalah pertanyaan yang menggugat identitas; sebetulnya pendidikan itu apa ?. Sedangkan pertanyaan epistemologis adalah pertanyaan yang menggugat cara; bagaimana suatu pendidikan yang “apa”-nya sudah diketahui, dijalankan ? Dan yang ketiga (aksiologis) adalah pertanyaan yang menggugat tujuan; untuk apa suatu pendidikan itu digelar ?
Makalah singkat dan sederhana --yang dibuat agak terburu-buru-- ini berusaha untuk menjelaskan tiga pertanyaan itu semua.
Semoga bisa memperkaya wawasan kita sebagai para pekerja pendidikan (education workers) !     

 

Tiga Paradigma Utama Pendidikan

            Paradigma adalah world view, cara memandang dunia. Dari suatu paradigma akan terbentuk perilaku yang mencerminkan paradigma yang dianut. Bagaimana suatu pendidikan sebagai sebuah perilaku kolektif dan sistemik memandang dunia, adalah pertanyaan yang harus dijawab sebelum kita menentukan variabel-variabel pendidikan lainnya. Paradigma pendidikan ini ditentukan oleh para pemegang kebijakan sistem pendidikan (stake holder) seperti, pemerintah, kepala sekolah, pemilik yayasan, pimpinan organisasi, dan sebagainya.
            Dalam menjawab pertanyaan, bagaimana pendidikan memandang dunia, ada tiga jawaban yang lazimnya muncul. Yang pertama, adalah sistem pendidikan yang memandang realitas luar sebagai sesuatu yang given, telah berlaku dari sononya, tidak bisa/perlu dirubah, bahkan perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan yang pro status quo. Para ahli filsafat pendidikan mengistilahkannya dengan Pendidikan Konservatif.
             Pendidikan konsevatif ini lazim diberlakukan pada negara-negara dengan rezim yang otoriter. Rezim yang menggunakan kekuatan represif untuk membungkam mulut rakyatnya. Rezim ini berusaha untuk mengelabui masyarakatnya bahwa ketidakadilan dan penyakit sosial yang ada (seperti: pengangguran, kriminalitas, konflik sosial, kemiskinan, kebodohan) adalah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah determinasi historis (takdir sejarah). Pendidikan ini juga berusaha untuk memisahkan peran pendidikan dengan realitas luar pendidikan. Pendidikan hidup dalam menara gading yang tak tersentuh (karena mahalnya pendidikan) dan tak menyentuh masyarakat banyak. Dari sistem pendidikan seperti inilah akan kita dapati output pendidikan yang gamang ketika kembali ke realitas sosialnya. Persis seperti cerita putra asli pedalaman kalimantan yang pergi menempuh pendidikan di pulau Jawa dan ketika pulang kembali ke Kalimantan hanya menjadi “sampah” masyarakatnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Berburu tidak bisa. Bertani/berladang tidak bisa. Bahkan, berenang saja, sebagai suatu keahlian wajib di Kalimantan yang banyak sungai, kagak gape !      
            Paradigma pendidikan yang kedua adalah paradigma liberal. Paradigma ini memandang bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena kelalaian manusia itu sendiri. Kalau ada pengangguran maka itu adalah kesalahan manusianya yang kurang kreatif, tidak berjiwa wirausaha dan malas. Kalau ada kemiskinan kota (poor urban) itu disebabkan karena manusianya yang malas berusaha di desa dan maunya hidup enak saja di kota. Pendidikan ini memang lebih memusatkan pehatiannya pada diri manusia. Untuk itu pendidikan dengan paradigma ini banyak menggelar praktek-praktek pengembangan manusia (istilah yang biasa dipakai adalah human development, self management, melejitkan potensi diri dan sejenisnya). Dari paradigma liberal ini pula lahir pelatihan/training semacam AMT (Achievement Motivation Training) yang disusun oleh David Mc Leland. Pelatihan ini berasumsi bahwa kemelaratan masyarakat disebabkan oleh kurang dimilikinya need of achievement (virus berprestasi) dalam masyarakat itu. Untuk itu training-training AMT banyak digelar oleh negara-negara kaya di negara-negara dunia ketiga (development and under development countries) untuk menyebarkan virus berprestasi di tengah-tengah rakyatnya.
             Pendidikan liberal ternyata tidak berperan banyak untuk mengatasi ketimpangan sosial. Ideologi developmentalisme yang berada dibelakang paradigma pendidikan ini malah melahirkan sekelompok masyarakat elit baru yang tidak mau menyentuh masyarakat yang ada dibawahnya. Efek menetes yang diyakini oleh developmentalisme ternyata hanyalah khayalan. Masyarakat bawah enggan disentuh karena dipandang mereka sebagai masyarakat yang malas.
Inilah pola pendidikan yang blaming the victim !
Paradigma pendidikan yang ketiga adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan kritis memandang, bahwa pendidikan harus secara utuh meresapi dan menyatu di tengah-tengah masyarakatnya. Paradigma ini memandang akar ketidakadilan sosial adalah sistem yang berlaku pada masyarakat itu. Sistem itu dapat  berupa sistem politik (yang otoriter dan anti demokrasi), sistem sosial (yang melestarikan kasta-kasta dan menghambat laju mobilitas sosial), sistem ekonomi (yang kapitalistik, dan anti kerakyatan) sistem budaya (yang patriaki dan anti egaliter), bahkan sistem pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat pengukuh kekuasaan dan pro status quo). Untuk itu pendidikan kritis berupaya melahirkan individu-individu (dan akhirnya masyarakat) yang mampu mendekonstruksi dan merekonstruksi sistem yang ada. Pola pendidikan inilah yang berupaya untuk diperjuangkan oleh Paulo Freire, seorang ahli pendidikan dari Amerika Latin yang berupaya untuk menghapuskan buta huruf sekaligus menggali akar kemelaratan sosial di Brazilia.
Pola pendidikan yang kritis ini nyatanya tidak diminati oleh para ahli pendidikan (yang memang produk dari pendidikan konservatif) sehingga bentuk prakteknya jarang kita saksikan di Indonesia. Pendidikan ini lebih populer di kalangan aktifis LSM/NGO “kiri” yang anti kemapanan dan pro HAM. Karena itu pula, bangunan ilmiah dari paradigma kritis ini masih terus tumbuh dan berkembang.     

Kesadaran Manusia

            Setiap praktek pendidikan membentuk kesadaran. Kesadaran ini dapat didefinisikan juga sebagai pandangan hidup yang menjadi pola (pattern) yang mempengaruhi penerimaan pengetahuan, sikap dan perilaku yang merupakan hasil transfer dari pendidikan itu. Secara komunal, kesadaran ini akan menjadi kesadaran masyarakat yang mempengaruhi pola hidup masyarakat.
            Menurut analisis Freire ada tiga kesadaran yang menjadi turunan dari tiga paradigma pendidikan di atas.
            Pertama, adalah kesadaran magis. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, kesadaran magis terbentuk pada masyarakat yang masih mempercayai hal-hal yang supranatural. Masyarakat ini meyakini bahwa kekuatan terbesar yang mempengaruhi kehidupan mereka adalah hal-hal yang gaib, mistis, supranatural (luar alam). Sehingga hal-hal gaib ini harus di-“tundukkan” dengan sesajen dan do’a-do’a. Kuntowijoyo menyebut masyarakat ini sebagai masyarakat pada tahap mitos. Masyarakat dengan kesadaran magis, adalah masyarakat yang deterministik, pasrah pada takdir. Masyarakat ini akhirnya, nrimo saja terhadap ketidak adilan sosial yang terjadi. Di tinjau dari paradigma pendidikan, masyarakat dengan kesadaran magis adalah masyarakat hasil dari pendidikan konservatif.
            Kedua, adalah kesadaran naif. Masyarakat dengan kesadaran naif adalah masyarakat yang memandang bahwa setiap ketidakadilan sosial berakar dari kelemahan manusia. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat dengan kesadaran naif terbentuk pada masyarakat yang percaya bahwa kekuatan natural (alam) adalah kekuatan terbesar yang mempengaruhi segala masalah di dunia ini. Untuk itu kekuatan alam harus ditundukkan oleh tangan manusia. Bila alam tak bisa ditundukkan oleh manusia, yang itu akan mengakibatkan kekacauan, maka manusia itulah yang lalai dan lemah. Untuk itulah maka diciptakan mesin-mesin yang berfungsi untuk membantu manusia menundukkan alam. Dalam era penciptaan mesin-mesin yang menggantikan manusia itulah muncul ideologi-ideologi politik dan sosial besar dunia (kapitalisme dan sosialisme). Sehingga, Kuntowijoyo mengistilahkan masyarakat pada tahap ini adalah masyarakat pada tahap ideologis. Pendidikan paradigma kedua (liberal) adalah pendidikan yang memproduksi masyarakat dengan kesadaran ini.
            Ketiga, adalah kesadaran kritis. Yaitu masyarakat yang menyadari bahwa kekacauan di dunia ini diciptakan oleh sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat kritis adalah masyarakat yang keyakinannya telah bergeser dari kepercayaan kekuatan terbesarnya kepada alam menuju kekuatan manusia. Untuk itu kekuatan manusia yang menjelma pada sistem ini harus ditundukkan dengan “ilmu” dan kesadaran kritis. Karena itu pula Kuntowijoyo menyebut masyarakat pada tahap ini dengan istilah “masyarakat ilmu”. Hanya pendidikan kritis-lah yang dapat menghasilkan kesadaran kritis ini.
           
Tujuan Pendidikan dan Teori Belajar
Secara umum ada tiga tujuan pendidikan yang biasanya ingin dicapai oleh para pelaku pendidikan. Hal ini berdasarkan pada tiga tindakan sosial (social act) utama manusia yang diungkapkan Jurgen Habermas. Tiga tindakan itu adalah; tindakan karya (work), tindakan komunikasi dan tindakan pembebasan.
Pendidikan yang bertujuan karya (work) adalah pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia “siap guna”. Dapat bekerja, baik sendiri maupun bersama-sama untuk melestarikan dan memajukan sistem yang telah ada. Secara ekstrim, pendidikan yang bertujuan karya ini akhirnya akan menciptakan manusia yang cinta pada benda mati (nekrofili) dan tidak cinta pada manusia yang lain (biofili). Manusia nekrofili akan merasa utuh kemanusiaannya jika memiliki harta kekayaan dan kekuasaan, meskipun tidak dicintai oleh manusia lainnya.
Pendidikan dan pelatihan yang belangsung selama ini hampir 90% bermain pada wilayah kekaryaan ini. Secara umum pendidikan dengan tujuan kekaryaan ini memakai behaviorisme sebagai landasan teori belajarnya, disamping juga sedikit teori kognitif dan humanistik.
Berikut ini simpul-simpul teori-teori belajar tersebut menurut Ernest Hilgard dan Gordon Bower dari Standford University :
Dari teori S-R :
1      Murid harus aktif
2      Frekuensi latihan yang cukup tinggi sangat penting untuk memperoleh ketrampilan dan retensi (penguatan daya ingatan) dilakukan belajar secara berulang-ulang.
3      Sangat diperlukan re-enforcement: murid yang dapat mengulang dengan baik dan menjawab dengan benar dapat diberi ganjaran.
4      Generalisasi dan diskriminasi memberi kesan akan pentingnya praktek dalam konteks yang bervariasi, sehingga belajar adalah penting bagi jajaran stimuli yang lebih luas.
5      Tingkah laku yang baru dicapai lewat peniruan model, pengenalan dan pembentukan tingkah laku,
6      Drive state diperlukan juga, tetapi ini berbeda dari sikap, atau dalam drive state ini mereka tidak perlu menyesuaikan secara keseluruhan pada prinsip-prinsip drive education yang didasarkan pada eksperimen “penghilangan makanan”.
Dari teori kognitif :
1      Organisasi pengetahuan yang akan disajikan tidak mengalami arbitrasi. Prosedur penyajian materi tidak sekedar berlangsung dari yang sederhana hingga yang kompleks, tetapi dari keseluruhan sampel sampai keseluruhan yang lebih kompleks.
2      Secara kultural belajar relatif. Situasi belajar dipengaruhi oleh kebudayaan secara luas maupun oleh sub-kebudayaan dimana orang merasa memiliki.
3      Cognitif feedback semestinya mengkonfirmasikan pengetahuan yang benar dan membuat koreksi terhadap belajar yang salah. Murid mengusahakan sesuatu secara profesional dan kemudian menerima atau menolak apa-apa yang dikerjakan atas dasar konsekuensi-konsekuensi.
4      Penentuan tujuan belajar oleh murid sangat penting sebagai motivasi belajar, keberhasilan dan kegagalan belajar itu sangat menentukan bagaimana ia menetapkan tujuan-tujuan di masa yang akan datang.
5      Pemikiran yang berbeda-beda yang mengacu pada pemilihan alternatif perlu dikembangkan secara terpadu dan hanya mempunyai satu cara yang logis untuk satu jawaban yang benar.     
Dari teori motivasi dan kepribadian :
1.     Memperhatikan kemampuan masing-masing murid sangat penting. Rata-rata cara dan waktu belajar masing-masing individu sehingga harus diakomodasikan dalam desain training.
2.     Perkembangan setelah bayi lahir, pengaruh keturunan, serta bakat dan kemampuan sama pentingnya untuk diperhatikan.
3.     Tingkat ketegangan (anxiety) mempengaruhi belajar manusia antara satu individu dan yang lainnya.
4.     Situasi yang sama mungkin saja menghasilkan motivasi yang berbeda-beda, tergantung apakah mereka diarahkan untuk kebutuhan afiliasi atau pencapaian tujuan.
5.     Organisasi motif dan nilai yang terkandung dalam individu sesuai dengan cara belajarnya. Orang cenderung belajar apa-apa yang dipandang perlu bagi khusus dirinya. 
Tujuan pendidikan yang kedua adalah interaksi atau komunikasi. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang egaliter yang mampu bekerjasama dan berinteraksi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam dunia industri, pelatihan komunikasi juga kerap diselenggarakan namun dalam kaitannya sebagai komplemen dari training ke-karya-an.
 Pendidikan komunikasi meniscayakan lingkungan belajar yang saling menghormati, menghargai, saling terbuka, dan bebas dari saling menghujat. Dalam lingkungan belajar yang emansipatoris itulah akan muncul segala potensi-potensi individu yang dikelola sedemikian sehingga menjadi kekuatan kelompok. Pendidikan ini, bila dilepaskan dari kepentingan kapitalisme, dapat menghantarkan pesertanya menjadi manusia-manusia biofili, manusia yang lebih menghargai nilai kemanusiaannya manusia yang lain.
Pendidikan komunikasi sebagai wahana pengelolaan kekuatan individu menjadi kekuatan kelompok (group dynamic) memakai teori psikologi Gestalt sebagai teori belajarnya. Psikologi Gestalt diciptakan oleh Kurt Lewin dengan simpul-simpul pemikiran sebagai berikut :
1.    Inti dari konsep pengaruh medan adalah, “Sebuah lingkungan selalu berada dalam pengaruh kekuatan medan”. Istilah kekuatan medan diambil dari teori medan magnet ilmu fisika, yang dalam medan magnet pusat kekuatan terletak pada butir-butir magnet yang masing-masing mempunyai daya dorong dan daya tarik terhadap satu sama lainnya, sedangkan pada kelompok manusia, pusat kekuatan medan terletak pada aktor-aktor secara individual yang berada di suatu lingkungan yang masing-masing memiliki tujuan.
2.    Lewin menjelaskan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi dari kepribadian (personality) dan pengaruh lingkungan (environment) sekitarnya. B = f (P.E)
3.    Menurut Lewin ada tiga kekuatan yang berpengaruh dalam suatu medan. Yaitu aprreciation (-), influence (+) dan controll (-/+).
4.    Totalitas dari ketiga kekuatan di atas menciptakan medan yang meneukan jalannnya proses interaksi sosial, yang disebut dengan group dynamic
Tujuan pendidikan yang ketiga adalah pembebasan. Pendidikan pembebasan bertujuan agar manusia tidak hanya menyadari kekuatan-kekuatan individunya (yang dilatih dalam training kekaryaan), namun juga menyadari kekuatan-kekuatan kelompoknya (yang diasah dalam training interaksi), dan realitas struktural yang melingkupinya, sehingga mereka dapat membebaskan diri dari struktur yang membelenggunya.
Dalam praktiknya, pendidikan pembebasan lebih banyak memakai asumsi-asumsi training untuk berinteraksi, sehingga seringkali training interaksi dan pembebasan berbaur menjadi satu tema, “participatory learning”.
Bila training untuk interaksi sulit ditemui maka training untuk pembebasan lebih sulit lagi untuk dijumpai dan didapatkan contohnya. Namun, sekali lagi literatur-literatur dari Paulo Freire dapat kita jadikan rujukan dalam menggagas training perubahan di masyarakat kita.

Penutup

Demikian makalah singkat ini disajikan. Beberapa hal yang belum dibahas pada tulisan ini meliputi kajian mengenai aspek-aspek teknis seperti ; pendekatan pendidikan, peran guru/fasilitator pendidikan, metodologi, media pendidikan, dan evaluasi, insya Allah akan dibahas pada tulisan berikutnya.

 

Literatur untuk pengembangan lebih lanjut :
1.     Mansour Fakih, Russ Dilt, et all. Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis, REaD Books,  Yogyakarta, 2001
2.     Drs. Baderel Munir,MA, Dinamika Kelompok, Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang, 2001
3.     Hildegard Wenzler-Cremer & Maria Fischer-Siregar, Proses Pengembangan Diri, Permainan dan latihan dinamika kelompok, Grasindo, Jakarta, 1993.
4.     Solita Sarwono, Kumpulan Latihan Dinamika Kelompok,Badan Penerbit UI, Jakarta, 1982
5.     Roem Topatimasang, Sekolah Itu Candu, penerbit dan tahun terbit lupa.
6.     Paulo Freire, Pedagogy of The Oppressed, Pendidikan Kaum Tertindas (terj.), LP3S, tahun terbit lupa.
7.     Mansour Fakih, Utomo Danandjaya, et all. Panduan Pemandu Pelatihan Orang Dewasa, P3M, tahun terbit lupa (sekitar 1984)
8.     Makalah Andragogy dan Dynamic Group (terj.) dari Malcolm Knowles (tahun terbit lupa)
9.     Buku-buku mengenai pendidikan orang dewasa dan pendidikan kritis lainnya.


...kami adalah mata pena yang tajam
yang siap menggoreskan kebenaran
tanpa ragu, tumbangkan kedzoliman ...
(Tekad, Izzatul Islam)