kau lempar aku dalam gelap
hingga hidupku menjadi gelap
kau siksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras
kau paksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak
darah sudah kau teteskan
dari bibirku
luka sudah kau bilurkan
ke sekujur tubuhku
cahaya sudah kau rampas
dari biji mataku
derita sudah naik seleher
kau menindas
sampai
di luar batas
Wiji Thukul,17 November 1996
"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar".
aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
Wiji Thukul.18 juni 1997
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan/di sana bersemayam
kemerdekaan/apabila engkau memaksa diam/aku siapkan untukmu:
pemberontakan!
Seperti biasa Rudi, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.
"Kok, belum tidur?" sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya, Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang
keluarga, Imron menjawab, "Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?"
"Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?"
"Ah, enggak. Pengen tahu aja." "Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam
dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?"
Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.
"Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong," katanya.
"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok," perintah Rudi. Tetapi Imron tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, "Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?"
"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah."
"Tapi, Ayah..." Kesabaran Rudi habis. "Ayah bilang tidur!" hardiknya mengejutkan Imron. Anak kecil itu pun
berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil
memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, "Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok' kan
bisa. Jangankan Rp 5.000,- lebih dari itu pun ayah kasih." "Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku
kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini."
"Iya,iya, tapi buat apa?" tanya Rudi lembut. "Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp
40.000,-, maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-. Makanya aku mau
pinjam dari Ayah," kata Imron polos.
Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.
Saya tidak tahu apakah kisah di atas fiktif atau kisah nyata. Tapi saya tahu kebanyakan anak-anak orang kantoran maupun wirausahawan saat ini memang merindukan saat-saat bercengkerama dengan orang tua mereka. Saat dimana mereka tidak merasa "disingkirkan" dan diserahkan kepada suster, pembantu atau sopir. Mereka tidak butuh uang yang lebih banyak. Mereka ingin lebih dari itu. Mereka ingin merasakan sentuhan kasih-sayang Ayah dan Ibunya. Apakah hal ini berlebihan? Sebagian besar wanita karier yang nampaknya menikmati emansipasi-nya, diam-diam menangis dalam hati ketika anak-anak mereka lebih dekat dengan suster, supir, dan pembantu daripada ibu kandung mereka sendiri. Seorang wanita muda yang menduduki posisi asisten manajer sebuah bank swasta, menangis pilu ketika menceritakan bagaimana anaknya yang sakit demam tinggi tak mau dipeluk ibunya,
tetapi berteriak-teriak memanggil nama pembantu mereka yang sedang mudik lebaran.
Kesalahpahaman 1
Kesalahpahaman 2--
Kesalahpahaman 3--
Kesalahpahaman 4--
Kesalahpahaman 5--
Kesalahpahaman 6--
Kesalahpahaman 7--
Kesalahpahaman 8--
Kesalahpahaman 9--
Kesalahpahaman 10--
Pertama,"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?".
Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman,dan kerabatnya. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "MATI". Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali Imran 185)
Pertanyaan kedua "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?".
Murid -muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah MASA LALU. Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Pertanyaan yang ke tiga. "Apa yang paling besar di dunia ini?".
A'Raf 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan ke empat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?".
Pertanyaan yang ke lima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?".
Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling ringan di dunia ini adalah MENINGGALKAN SHOLAT. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan sholat, gara-gara meeting kita tinggalkan sholat.
Lantas pertanyaan ke enam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?".
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang... Benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling tajam adalah "LIDAH MANUSIA". Karena melalui lidah, Manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan
melukai perasaan saudaranya sendiri.