twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa

Oleh : Suli [2]

Pengantar
Ujian Penilaian Pendidikan di Indonesia :

Periode 1950-1960-an
Ujian akhir disebut Ujian Penghabisan. Ujian Penghabisan diadakan secara nasional dan seluruh soal dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh soal dalam bentuk esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian, tetapi di pusat rayon.

Periode 1965-1971
Semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah pusat pula yang menentukan waktu ujian.

Periode 1972-1979
Pemerintah memberi kebebasan setiap sekolah atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan proses penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau kelompok. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum.

1980-2000
  • Mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata pelajaran pokok, sedangkan EBTA untuk mata pelajaran non-Ebtanas.
  • Ebtanas dikoordinasi pemerintah pusat dan EBTA dikoordinasi pemerintah provinsi.
  • Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor.
2001-sekarang
  • Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002.
  • Kelulusan dalam UAN 2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.
  • Dalam UAN 2003 siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6.
  • Dalam UAN 2004 kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi.
Selama ini penentuan batas kelulusan ujian nasional ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengambil keputusan saja. Batas kelulusan itu ditentukan sama untuk setiap mata pelajaran. Padahal karakteristik mata pelajaran dan kemampuan peserta didik tidaklah sama. Hal itu tidak menjadi pertimbangan para pengambil keputusan pendidikan. Belum tentu dalam satu jenjang pendidikan tertentu, tiap mata pelajaran memiliki standar yang sama sebagai standar minimum pencapaian kompetensi. Ada mata pelajaran yang menuntut pencapaian kompetensi minimum yang tinggi, sementara mata pelajaran lain menentukan tidak setinggi itu. Keadaan ini menjadi tidak adil bagi peserta didik, karena dituntut melebihi kapasitas kemampuan maksimalnya. Salah satu kelemahan penyelenggaraan pendidikan kita.

Realita Pendidikan yang Sarat Kritik
Menilik data-data sebagai parameter kesuksesan UN, angka kelulusan ujian nasional (UN) tingkat SMA/ MA tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dimana pada tahun 2009 angka kelulusan UN mencapai 93.74 persen, kini menjadi 89,88 persen. Jadi jumlah siswa yang mengulang UN mencapai 154.079 orang dari 1.522.162 peserta UN 2010. Jika secara data, memang terbukti ada penurunan kuantitas keberhasilan dengan berpatokan pada ujian nasional. Akan tetapi, kualitas output dari hasil Ujian Nasional tersebut masih ramai dipertanyakan. Jangankan bicara kualitas, dalam pelaksanaan UN masih sarat dengan kasus-kasus yang kontroversial.
Kontroversi kasat mata yang sampai saat ini masih marak terjadi adalah kecurangan penyelenggaran UN (mencotek, jual beli soal dan kunci jawaban, dsb) , fasilitas penunjang UN yang tidak memadai yang meliputi sering bermasalahnya kertas soal ujian maupun fasilitas penunjang lainnya. Sebenarnya seberapa seriuskah pemerintah menyelenggarakan pendidikan yang ilmiah dan berkualitas ?
Dari tahun ke tahun system pendidikan khususnya penentuan kelulusan peserta didik terus dikaji dan diubah-ubah. Seolah ada kesan arah pendidikan dan output peserta didik mau dibawa kemana, tidak pernah jelas. Ada beberapa perbedaan dalam penyelenggaraan ujian nasional tahun ini. Tidak ada ujian ulang terhadap mata pelajaran yang tidak lulus, yang ada hanya ujian susulan itu pun jika siswa yang bersangkutan sakit, atau kena musibah. Mata pelajaran yang diujikan tidak berbeda dengan tahun sebelumnya, namun ada satu mata pelajaran selama ini dilaksanakan Ujian Sekolah kini sudah di UN kan yaitu pendidikan Agama. 
Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan. Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di -UN-kan di sekolah dan di rumah.
 Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun lalu, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.

Tentang Hakikat Pendidikan
Motivasi manusia untuk belajar datang dari keinginan mereka untuk ingin tahu, mengerti dan keinginan mengembangkan diri. Jadi motivasi yang muncul dalam diri siswa untuk belajar tidak datang dari nilai yang mereka peroleh pada akhir proses pembelajaran, tapi muncul dari kesenangan dan keaktifan mereka selama proses pembelajaran (internal motivation). Selain itu motivasi dari luar (eksternal motivation) juga ikut mempengaruhi, dimana siswa dapat termotivasi melalui adanya penghargaan (reward), tapi  tidak akan termotivasi melalui sangsi (punishment).
Tiori psykologi ini telah digunakan secara meluas di negara-negara skandinavia dalam merancang sistem pendidikan mereka, salahsatunya Fillandia yang dikenal sebagai negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia. Dalam pemikiran mereka bahwa kemajuan pendiikan akan diperoleh apabila keinginan siswa untuk belajar bisa ditingkatkan dan keinginan belajar ini bisa dihasilkan bila siswa memiliki ketertarikan dan motiviasi terhadap proses pembelajaran. Memang mereka juga masih mengenal sistem nilai dalam proses pembelajaran, tapi hanya digunakan untuk mengetahui perkembangan siswa sehingga dapat mengevaluasi proses pendidikan.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Seharusnya sistem pendidikan lebih ditekankan pada pelaksanaan proses pendidikan, seperti peningkatan dan pemerataan kualitas pengajar, peningkatan fasilitas belajar, perpustakaan dan laboratorium. Proses belajar dirancang lebih atraktif dan edukatif yang mengacu kepada peningkatan ketrampilan bukan hanya intelektual. Proses belajar harus mampu memotivasi siswa untuk belajar mandiri tidak hanya bergantung kepada pengajar sebagai sumber ilmu, namun siswa harus termotivasi untuk mengembangkan pengetahuannya melalui berbagai sumber bacaan. Serta yang paling penting adalah merubah pola pikir siswa bahwa belajar bukan hanya sekedar lulus dan mendapat nilai bagus, tapi belajar harus mampu merubah prilaku untuk kehidupan lebih bagus.
Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. 
Wujudkan Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis dan Bervisi Kerayatan !

[1] Disampaikan dalam diskusi LKAT Demokrasi
[2] Ketua SMI Jogja

0 komentar:

Posting Komentar