twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa

Oleh : Achmad Zani 1


Pluralisme agama di negeri ini merupakan realitas empirik yang tidak dapat di pungkiri. Pluralisme sejak dulu sudah dikenal sebagai potensi bangsa dan negara sehingga founding fathers, menentukan Negara bukan menjadi Negara agama atau Negara sekuler. Pilihannya tepat berada ditengah-tengah diantara keduanya. Persoalannya ialah tinggal siapa yang memperkenalkan, dan memaknai selanjutnya sehingga kenyataan pluralisme menjadi ruwet bak memendam dendam kesumat yang tidak ada hentinya.
Pilihan founding father bisa dibilang cukup tepat, untuk tidak mengatakan mutlak adanya. Apa yang bakal terjadi seandainya negeri ini di-merdeka-kan dengan bentuk Negara agama, atau Negara sekuler? Bisa jadi perpecahan, ancaman disintegrasi bangsa dan semacamnya telah bermunculan sejak awal republik ini ada. Tetapi Pilihan tersebut bisa saja berubah, seiring perkembangan dan tuntutan zaman. Pilihan untuk menjadi Negara non Agama ketika itu memang memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini untuk bersikap toleran, menghargai keberbagian dan menjunjung tinggi kemerdekaan itu. Sedangkan pilihan untuk tidak menjadi Negara sekuler jelas membuktikan bahwa negri ini rakyatnya bisa dibilang religious society, masyarakat yang ber-Tuhan, bukan masyarakat yang anti Tuhan.2
Dilain sisi, kesalahan dalam memahami suatu keadaan juga muncul pada gerakan mahasiswa, terutama dalam tubuh organisasi. Suatu permasalahan klasik yang dari generasi kegenerasi tak kunjung usai, yang menjadi pemicu dari pada suatu perselisihan antar suatu gerakan. Perselisihan biasanya muncul karena perbedaan ideologi, perbedaan cara pandang dalam menentukan haluan aliansi dan permasalahan kader.
Hal inilah yang sangat memprihatinkan didalam tubuh mahasiswa, yang secara tidak langsung akan menjadi boomerang bagi masa depan bangsa ini. Mahasiswa sebagai generasi bangsa yang seharusnya menjadi insan yang cerdas, namun kini menjadi kurang untuk mengatakan tidak. Sebenarnya akar dari permasalahan ini ialah dari faktor kebiasaan. Faktor kebiasaan dalam membiasakan mata dalam melihat, kebiasaan dalam membiasakan hati/perasaan dalam merasa dan kebiasaan dalam membiasakan otak dalam berfikir. Kemudian diisisi lain, tepatnya didalam suatu masyarakat peran mahasiswa telah dinanti-nanti kiprah dari padanya karena mereka adalah manusia yang dididik agar menjadi intelektual yang kontributif, mampu mamahami permasalahan di sekitarnya, kemudian menganalisis serta memformulasikan solusi masalah tersebut dalam bentuk nyata.3
1.     1.     Mahasiswa  UAD angkatan 2007, yang kini menjabat sebagai PRESIDEN FBEMP Yogyakarta. 
2.     2.    Th. Sumartana, dkk, pluralisme, konflik & pendidikan agama diindonesia, interfidei, Yogyakarta, 2005

0 komentar:

Posting Komentar