twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa

Oleh : Ibenzani Hastomi

“Dengan menulis aku ada// Dengan menulis aku hidup// Dengan menulis aku membaca// Dengan menulis aku dibaca...”
(K.H Zainal Arifin Thoha, Alm.)

Sebagai bagian dari sense of intelectual, membaca-menulis bagi kalangan kampus, baik mahasiswa maupun dosen adalah suatu keniscayaan. Membaca dan menulis adalah entitas yang saling berkaitan erat, dengan membaca kita bisa memperoleh pengetahuan, dengan menuliskan pengetahuan yang kita dapat, maka kita telah berbagi pemikiran dengan kalangan luas. Dalam kehidupan sosial yang berbasis komunikasi, kemampuan berbahasa yang baik, baik retorika maupun tulisan, dalam mengejawantahkan diskursus dan pemikiran adalah prasyarat utama sebuah interaksi sosial.

Disinilah mengapa tradisi menulis menjadi lebih urgen walaupun kita tidak bisa begitu saja menafikan tradisi retorika. Dokumentasi tulisan bersifat abadi dan dapat dibaca berulang-ulang sehingga daya jangkau penyampaiannya bisa mengenai lebih banyak kalangan. Keistimewaan agitasi tulisan dalam memengaruhi massa pun menjadi lebih besar. Perjuangan para Founding Fathers merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial, tak hanya bermodalkan perlawanan fisik, tetapi juga perlawanan yang bersifat intelektual. Bagaimana perintis pers pribumi, Tirto Adi Soerjo berjuang dengan Medan Prijaji-nya, Ki Hadjar Dewantara (KHD) dengan “Andai Aku Seorang Belanda”-nya, ataupun tokoh cerdik cendekia lainnya yang berjuang di jalur yang sama. Pasca kemerdekaan pun, stakeholders era Orde Baru yang takut akan kekuatan tulisan berusaha mengerdilkan peran pers dengan menerbitkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang rentan ancaman pembredelan dan sanksi berat bagi media mainstream dan wartawan yang ‘membangkang’, walaupun pada akhirnya Reformasi 1998, peran pers (dalam hal ini pers mahasiswa) juga turut andil. Karena tulisan ‘curhat’-nya yang dinilai membahayakan pula, Prita Mulyasari sempat menjadi ‘bulan-bulanan’ RS Omni internasional, ataupun di luar negeri, Veronica Guerin (yang kisahnya diflmkan) mengorbankan nyawa ketika tulisannya membongkar sindikat mafia narkoba yang juga melibatkan oknum aparatus negaranya.

Mahasiswa Menulis? Why Not?
Kesadaran menulis di kalangan kampus juga sebagai bagian dari tridharma perguruan tinggi. Sebagai lembaga pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, perguruan tinggi dituntut bisa mengkaji, berinovasi kemudian mempublikasikan upaya pemecahan permasalahan sosial. Perguruan tinggi adalah lembaga akademik yang keberadaannya tak boleh jauh dari kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya.

Menulis bagi mahasiswa adalah sebuah keniscayaaan, namun apakah spirit itu masih melekat pada mahasiswa sampai hari ini? Tentu saja jawabannya relatif subjektif, ada yang sebagian masih mempertahankan tradisi menulis, namun tak banyak pula mahasiswa yang untuk menulis saja sudah terbanyang keengganan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang susah, terlebih dengan rutinitas kuliah beserta dinamika tugasnya yang kadang menyita waktu luang. Padahal jika dicermati lebih dalam, dunia tulis menulis sangat berkelindan (berjalan beriringan) dengan tradisi intelektual, dalam hal ini mahasiswa. Mahasiswa sebagai miniatur dunia intelektual, adalah agen perubahan sosial (the agent of social change), dengan apa mahasiswa melakukan perubahan? Tentulah dengan menulis salah satunya.

Menurut hemat saya, mengubah paradigma bahwa menulis itu proses yang menyenangkan adalah urgen untuk menggalakkan kembali tradisi menulis mahasiswa. Menulis adalah proses pergulatan intelektual tiap orang, dan menulis pula adalah hasil akumulasi dari pengamatan yang dilakukan terhadap realitas di sekelilingnya lalu diejawantahkan dan dikomunikasikan lewat bahasa. Tentu saja hal ini harus ditambah pula penciptakan iklim akademik yang kondusif bagi mahasiswa untuk menulis, pemberian dukungan moral sepenuhnya, memperbanyak iklim diskusi dan keteladanan dari para pamong ataupun dosen. Bukankah KHD dalam ajarannya mensyaratkan keteladanan pamong kepada para muridnya (ing ngarso sung tuladha)?

Dengan segala kekuatan dari sebuah tulisan, marilah kita sebagai mahasiswa membiasakan diri membaca dan menulis untuk mempertegas identitas kemahasiswaan kita. Membaca membuat kita paham raelitas di sekitar dan menjadikan pemikiran kita kritis dan terbuka. Menulis adalah pelengkap perjuangan menuntut perubahan yang selama ini di dengung-dengungkan bersama. Akhirnya, kembali ke muara perjuangan, siapa yang akan menikmati kehidupan ke depan yang lebih baik lagi jika bukan kita semua? Semoga.

*Disampaikan dalam diskusi rutin LKAT Demokrasi

0 komentar:

Posting Komentar