twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa

Dunia pendidikan memang selalu menarik untuk diperbincangkan, baik oleh pemerintah, praktisi pendidikan, masyarakat, guru, mahasiswa, hingga kita sekalian. Hal ini dikarenakan akan pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa, dimana salah satu indikasi negara dikatakan maju apabila rakyatnya sudah cerdas dan mampu menguasai IPTEK. Dengan pendidikan, rakyat akan lebih kritis dan mudah diarahkan dalam pembangunan suatu bangsa, baik dalam segi ekonomi, sosial budaya yang tentunya untuk kemaslahatan bersama.

Oleh karena itu wajarlah ketika pembangunan dalam bidang pendidikan harus diprioritaskan yang utama. Kita bisa lihat di jepang, setelah kota Hirosima dan Nagasaki yang keduanya adalah jantung perekonomian di bom atom yang menimbulkan kerusakan dan kehancuran berat, Jepang mencoba untuk membangun kembali negaranya, salah satu variabel yang menjadi modal utama dan optimisme mereka adalah pendidikan. Jepang kemudian mengirim pemuda dan pemudinya belajar keluar negeri untuk mempelajari teknologi modern dengan biaya pemerintah, didalam negeri pemerintah Jepang mengutamakan pembangunan fasilitas pendidikan dan memberi porsi anggaran yang lebih besar untuk sektor pendidikan. Itulah kenapa Jepang bisa bangkit dan mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa negara maju. Sangat beda halnya dengan kenyataan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, alih-alih untuk memajukan sektor pendidikannya malah pendidikan komersialisasikan dan dibiarkan dikuasai oleh Nafsu mengakumulasi modal (baca; Kapitalisme).

Nasib dunia pendidikan Indonesia sungguh sangat dramatis, pendidikan nasional sebagai salah satu variabel untuk memajukan pendidikan justru di jadikan lahan akumulasi modal (pendidikan Layaknya komoditi yang siap di perdagangkan). Problem utama pendidikan saat ini bisa di simpulkan menjadi, Yang pertama Biaya Pendidikan yang semakin Mahal; lihat bagaimana mahalnya biaya sekolah di RSBI atau SBI, kampus-kampus juga seenak jidat menaikan biaya kuliah dengan alasan menaikan kualitas, padahal yang bisa Kita lihat hanya bangunan fisik yang “agak” berubah, tapi dari segi kualitas mengajar dosen dan juga out put belum sesuai dengan yang diharapkan.

Memberikan beasiswa berprestasi S1, S2, S3 hingga ke luar negeri hanya kepada sebagian kecil orang miskin akan menjadi sia-sia saja. Lebih baik adalah sekolah gratis kepada seluruh siswa wajib belajar (SD-SMP-SMA). Mengutip tulisan karya Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan dan Pengajaran Nasional yang disampaikan pada Kongres PPPKI (Permufakatan Persatuan Pergerakan Kebangsaan Indonesia) ke-1 tanggal 31 Agustus 1928 di Surabaya, pada poin pertama “Kekuatan rakyat itulah jumlah kekuatan tiap-tiap anggota dari rakyat itu. Segala upaya untuk menjunjung derajat bangsa tak akan berhasil, kalau tidak dimulai dari bawah. Sebaliknya rakyat yang sudah kuat, akan pandai melakukan segala usaha yang perlu atau berguna untuk kemakmuran negeri.”

Problem ke-dua adalah infrastruktur/fasilitas pendidikan yang sangat minim; jumlah TK-SD,SMP,SMA dan perguruan tinggi belum memenuhi kapasitas peserta didik di Indonesia, terutama didaerah-daerah terpencil. Banyak sekolah-sekolah yang ruangnya di pakai secara bergiliran, bahkan di beberapa daerah kelas-kelasnya di gabung padahal ini sangat tidak efektif untuk proses belajar mengajar. Selain itu keterbatasan infrastruktur ini semakin di perparah dengan kenyataan bahwa infrastruktur ini banyak yang ber-usia sudah tua dan tidak layak pakai. Kejadian gedung sekolah yang ambruk sering kali muncul di media masa baik cetak maupun elektronik.

Problem ke-tiga adalah Kurikulum, system pendidikan dan pelembagaannya. Semasa orde baru kurikulum pendidikan di arahkan untuk kepentingan mendukung ideologis penguasa, lembaga pendidikan di control ketat oleh pemerintah. Namun di bawah pemerintahan SBY-Budiono pendidikan justru di arahkan untuk kepentingan Neoliberalisme; Kurikulum berbasis kompetensi-pun tidak mengangkat pendidikan menjadi ilmiah dan demokratis, malah aspek kekerasan buah dari hubungan sub-ordinat subjek. Menurut Dave Meier —seorang pakar accelerated learning— Sekolah saat ini kadang-kadang mencekik dan melumpuhkan orang dan merenggut kegembiraan belajar anak didik, sehingga dapat menghalangi mereka mengasah pikiran dan mewujudkan potensi sepenuhnya. Tentu Kita tidak mau anak-anak Kita menjadi tumpul potensinya, dan juga tidak mau jika melihat potensi anak-anak Kita mati sia-sia karena harus mempelajari yang bukan minatnya.

Kurikulum yang selalu berganti-ganti tiap ada pergantian mentri juga menjadi persoalan dalam pendidikan kita (ganti mentri ganti kurikulum). Hal ini sangat membingungkan pihak guru dan juga murid, guru-guru terpaksa meninggalkan kewajiban mengajarnya karena harus mengikuti penataran kurikulun yang baru sehinggapada akhirnya murid-murid yang dirugukan karena tidak mendapatkan materi pelajaran.

Persoalan terakhir atau yang ke-empat adalah kesejahteraan guru yang sangat minim, gaji seorang guru belum memenuhi standar hidup layak keluarganya (kebutuhan ekonomi keluarga), sehingga tidak jarang guru-guru terlibat kerja sampingan (buka usaha, jadi tukang ojek, dan lain-lain), dan ini sangat mengganggu konsentrasinya untuk mengajar. Tidak ada upaya pemerintah untuk menambah kualitas tenaga pengajar dengan memberikan beasiswa untuk melanjutkan kuliah, yang justru hal ini akan berdampak positif bagi guru tersebut dalam hal kemampuan mengajar peserta didiknya.

0 komentar:

Posting Komentar