twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa


Diskusi Awal Tentang Filsafat[1]
Oleh Moh. Fathoni[2]
“If God had all truth in his right hand and the lifelong search for truth in his left, which hand would you choose? [Jika Tuhan meletakkan seluruh kebenaran di tangan kanan-Nya dan pencarian kebenaran sepanjang hayat di tangan kiri-Nya, tangan mana yang akan anda pilih?]” kata Kierkegaard.


Saya akan mengawali diskusi ini dengan cerita singkat isi buku Jonathan Livingston Seagull. Buku kecil itu mengisahkan seekor burung yang aneh—burung camar, seperti yang ditunjukkan oleh judulnya, seagull. Pada mulanya, burung yang bernama Jonathan ini melakukan eksperimen berbagai cara terbang. Sementara semua kawannya menggunakan keterampilan terbang mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam hidup mereka, Jonathan memandang bahwa terbang merupakan keterampilan yang harus dituntut demi cara terbang itu sendiri. Akan tetapi, ketika ia menguji-coba metode barunya untuk terbang dengan kecepatan tinggi, pemimpin-pemimpin kawanannya terusik, yang menanggapinya dengan mengasingkan dia ke “tebing-tebing yang jauh”. Setelah ia tinggal lama sendirian, dua ekor burung misterius datang dan membawanya ke tempat lain.
Di Bagian Dua, Jonathan belajar tentang cara terbang baru yang tidak berfokus pada sayap dan bulu, tetapi pada pikiran dan imajinasi. Ia jauh lebih cepat daripada semua burung lain di dunia baru ini, ketika tiba-tiba ia memutuskan bahwa ia harus kembali ke dunia lamanya. Jadi, ia pulang ke tebing-tebing yang jauh tersebut. Kemudian bagian ketiga dan terakhir dari kisah ini menceritakan bagaimana ia mengumpulkan beberapa burung buangan [seperti dirinya] dan mulai mengajari mereka cara terbang dan cara memahami penerbangan. Tidak lama setelah mereka mempelajari beberapa keterampilan dasar, murid-muridnya bersama-sama dengan Jonathan pulang ke kawanan lamanya, yang dulu membuang mereka. Di situlah mereka menyelenggarakan kursus di pantai, dan akhirnya sebagian dari burung-burung dari kawanan lamanya menunjukkan minat untuk mempelajari cara terbang. Ketika mereka mulai belajar demi mereka sendiri, Jonathan membiarkan mereka tetap mandiri.
Nah sekarang, saya ingin mendengar jawaban dari anda tiga pertanyaan berikut ini:
1]    Dalam cerita ini, kata terbang melambangkan apa?
2]    Mengenai perburuan kealiman, cerita ini mengatakan apa?
3]    Ke mana Jonathan pergi di Bagian Dua?

Cerita burung camar tadi mirip perjalanan hidup manusia. Kisah hidup manusia adalah perkembangan sejarah yang paling menakjubkan di banding mahluk hidup manapun di bumi ini. perkembangan peradaban manusia dari awal adanya manusia hingga sampai saat ini adalah sesuatu yang tidak lahir begitu saja, butuh waktu ribuan tahun dari pertama api di temukan sebagai sumber penerangan kemudian di gantikan dengan lampu listrik seperti saat sekarang, semua yang lahir adalah setelah pengalaman dan hasil percobaan-percobaan manusia yang tidak kenal lelah, manusia juga memahami bahwa manusia memerlukan alam untuk melanjutkan hidup, alam yang harus diolah agar tetap mampu menyediakan kebutuhan manusia yang populasinya terus berkembang bahkan juga mampu memahami bahwa antara manusia yang satu dengan yang lain juga mempunyai hubungan, bagaimana ia harus hidup dalam kelompok dan bagaimana juga manusia menghadapi perubahan-perubahan.
Pertanyaan "apa itu", "dari mana", “mengapa”, dan "ke mana" pertanyaan-pertanyaan ini terus mengemuka dan timbul dalam benak manusia, orang tidak hanya mencari pengetahuan sebab dan akibat dari suatu masalah, tetapi mulai mencari sampai tingkat kebenaran sesuatu sampai paling mendasar, karena hal tersebut disadari atau tidak adalah hal yang mampu memandu kehidupan manusia. Artinya cara manusia memandang sesuatu di tentukan bagaimana ia mampu memahami hakekat yang paling mendasar, dari situ pula menentukan cara manusia menyelesaikan sebuah persoalan,cepat atau lambat, tepat atau tidak memang akan sangat tergantung bagaimana tingkat pemahaman manusia dalam memandang dan menganalisa sesuatu. Manusia dan kehidupan sosial memiliki hubungan yang erat. Pemikiran manusia ditentukan oleh masyarakatnya. Masyarakat akan dipengaruhi oleh lingkungannya, baik alam, maupun penduduk. Cara manusia mempertahankan hidup, akan menentukan kesadaran manusia.
Apa itu Filsafat?
Kata filsafat berasal dari bahasa yunani, Philos, yang artinya pecinta dan Sophia, yang artinya kebijaksanaan, Filsafat berarti hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Atau bisa didefinisikan sebagai pencarian terhadap kebenaran yang hakiki. Demikian arti filsafat pada mulanya, kemudian pada perkembangannya, mengalami perlusan yang kompleks. Artinya filsafat mengajak kita untuk memahami kebenaran sesuatu sampai pada akar-akarnya, maka filsafat menempati posisi sebagai induk segala ilmu dan pengetahuan. Karena dari filsafat-lah orang memulai mempertanyakan dan mencari jawaban segala sesuatu. Dapat kita mengerti filsafat secara umum, yaitu suatu ilmu [induk ilmu] yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan cabang darinya yang berkubang pada permasalahan khusus dan spesifik. Filsafat akan mengajak kita untuk berpikir dan menggambarkan kita untuk tindakan, yang akan memandu hidup kita,sebenarnya tidak ada manusia yang hidup tanpa berlandaskan filsafat, hanya persoalan tahu atau tidak tentang filsafat itu sendiri.

Ilmu dalam Filsafat:
Manusia menggunakan akal budi dan pikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan [realitas] yang terjadi.  Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan.  Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan  koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang [1] disusun metodis, sistematis dan koheren [“bertalian”] tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan [realitas], dan yang [2] dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang [pengetahuan] tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan [realitas], makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan [realitas].
Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan [realitas]. Filsafat merupakan refleksi rasional [pikir] atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat [= kebenaran] dan memperoleh hikmat [= kebijaksanaan].  
Al-Kindi [801 - 873 M] pernah berkata, bahwa kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia. Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran.
Karl Popper menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian.  Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir.  Mereka tidak menyadari bahwa alasan yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu  hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup".  Mengingat berfilsafat adalah berpikir tentang hidup, dan "berpikir"= to think [Inggris], denken [Jerman], maka menurut Heidegger [1889-1976], dalam "berpikir" sebenarnya kita "berterimakasih"= to thank [Inggris], danken [Jerman] kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.
Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" [jerman] yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi"=  Tuhan.  Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates dan Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.
Menurut Aristoteles [384-322 sm], pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi [abstrahere= menjauhkan diri dari, mengambil dari]. Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat. Tetapi ada hal yang membedakan seseorang berpikir filsafat atau tidak, Kattsoff dalam bukunya Elements of Philosophy, menjelaskan batasan filsafat secara umum untuk melengkapi pengertian kita tentang "filsafat". Pengertian ini juga sekalian menegaskan perbedan pemikiran filsafat dengan lainnya. Bilamana seseorang berpikir secara filsafat.

Filsafat adalah berpikir secara kritis dan radikal [mendasar].
Dasar munculnya filsafat adalah pencarian terhadap kebenaran hakiki. Ada banyak permasalahan yang tidak terjawab, tidak tuntas dijawab atau jawaban yang ada tidak memuaskan. Filsafat berlatarbelakang keresahan terhadap permasalahan tersebut. Tidak akan pernah muncul pemikiran filsafat jika tidak ada keresahan. Maka kemudian, setiap orang berfilsafat adalah orang yang berpikir kritis untuk memecahkan permasalahan yang meresahkan tersebut. Untuk mencari sumber masalah dan mengatasinya menggunakan analisa dan berpikir mendasar, esensial, artinya dengan mencari dan menentukan akar masalah yang tengah dihadapi, sehingga tidak keliru tentang problem sebenarnya atas realita yang terjadi.
Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis dan runtut.
Walaupun cakupan filsafat sangat luas, namun bukan berarti tanpa sistematika. Filsafat akan mempertanyakan hal yang paling hakiki. Dari segala sesuatu yang ada, filsafat akan mencari substansi segala sesuatu tersebut dengan metode yang secara sistematis menuju jawaban terhadap pertanyannya. Menemui hal-hal yang khusus dari masing-masing hal, kemudian mencari sifatnya yang umum, serta mencari jawab atas substansi secara umum, dengan peralatannya [logika].
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam filsafat bukanlah pertanyaan yang acak, namun berurutan dan konsiten, tidak merupakan pertanyaan yang saling bertentangan satu sama lainnya. Filsafat juga bermula dari menjawab substansi umum, kemudian menjelaskannya sesuai dengan tingkatannya dalam hubungan-hubungannya. Dapat bermula dari segala sesuatu, yang ada, yang nyata, yang eksis, dari alam, makhluk hidup, manusia, serta esensinya.
Filsafat adalah berpikir secara rasional.
Harus ada pertanggungjawaban dan penjelasan yang bisa diterima oleh nalar manusia terhadap semua hasil-hasil pemikiran. Ada alasan dan bukti yang secara umum diakui kebenarannya. Semakin nyata sebuah pemikiran, diakui banyak orang, semakin dapat diterima pula oleh akal, serta semakin dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Filsafat harus bersifat komprehensif dan holistik [menyeluruh dan utuh].
Tidak ada sesuatu hal yang dapat terpisah sama sekali dari yang lainnya. Filsafat memiliki cakupan yang paling luas dan akan menjelaskan segala sesuatu beserta saling hubungannya. Tidak dapat dikatakan sebagai filsafat jika telah memiliki batasan tema, namun merupakan ilmu. Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau mengikuti arus [ikut-kutan] saja. Untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu.
Filsafat sebagai berpikir rasional [logika] dan dapat dipertanggungjawabkan, setidaknya dalam 3 prasyarat pokok, yaitu:
1.      Ontologi, secara sederhana filsafat mampu menjawab “apa” yang dipelajari. Ontologi adalah pencarian terhadap sebab-sebab kejadian segala sesuatu, atau latar belakang terjadinya sesuatu. Ontologi mungkin berisi tentang sejarah ataupun pembahasan mengenai asal-usul sesuatu.
2.      Epistemologi, secara sederhana filsafat mampu menjawab “mengapa dan bagaimana” tentang hal yang dipelajarinya itu. Epistimologi berbicara tentang kemunculan ilmu/pengetahuan manusia mengenai segala sesuatu. Antara ontology dan epistimologi dapat digambarkan demikian. Secara ontology, masyarakat sudah ada sejak adanya manusia secara berkelompok. Namun ilmu tentang masyarakat [sosiologi] baru muncul setelah abad XIX. Secara epistimology, baru pada saat itulah muncul pengetahuan/ilmu mengenai masyarakat.
3.      Aksiologi, setidaknya filsafat mampu menjawab “kemana” arah berikutnya untuk menjawab persoalan awal, atau bagaimana selanjutnya. Aksiologi berisi tentang panduan dan tuntunan arah dari filsafat ilmu itu sendiri. Apa yang hendak dicapai, merupakan landasan aksiologi filsafat ilmu.
Tiga hal tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, harus utuh. Tetapi, jika tidak logika bisa untuk “membenarkan kesalahan” dan “menyalahkan kebenaran”, bisa untuk menindas dan menolong yang tertindas, to colonize or to free. Logika adalah suatu sistem berpikir. Logika membagi beberapa pernyataan sangat tegas jika ya berarti bukan tidak. Begitu juga sebaliknya. Sangat dikotomis, membagi dua dengantegas. Selain itu logika mengandalkan hukum sebab akibat. Dalam logika a=b, b=c, maka a=c dapat disimpulkan, seperti silogisme.
Obyek material dan obyek formal
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal.  Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan [materi] pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat".  Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat.  Maka ada filsafat tentang manusia [antropologi], filsafat tentang alam [kosmologi], dan filsafat tentang akhirat [teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan].  Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain.  Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.  Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi  [merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman] menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu".  Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" [versus "kepalsuan"], "kepastian" [versus "ketidakpastian"], "obyektivitas" [versus "subyektivitas"], "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan.   Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berpikir itu [sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama] menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan.  Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.  Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

Obyek Formal Filsafat
Filsafat memiliki banyak konsepsi untuk menjelaskan segala hal. Diantaranya adalah kategori yang menjelaskan kepada kita wilayah dan sifat yang saling berbeda. Pemahaman tentang ini akan membantu kita supaya tidak “kabur” dalam memahami sesuatu. Dalam filsafat dikenal;
a.      Bentuk dan Isi
Bentuk selalu meliputi isi. Bentuk adalah penampakan dari segala sesuatu [isi]. Sedangkan isi adalah intinya. Isi yang memberi bentuk kepada kenyataan. Bentuk juga melindungi isi. Antara bentuk dan isi selalu sesuai.
b.      Gejala dan Hakekat
Gejala adalah penampakan yang ditangkap indera. Sedangkan hakekat adalah substansinya. Gejala muncul dari hakekat, namun tidak semua gejala sama dengan hakekatnya. Bisa juga gejalanya bertentangan dengan hakekat, jika kondisinya memaksa demikian. Gejala yang nampak pada kapitalisme adalah “humanis” namun hakekatnya penindasan.
c.       Sebab dan Akibat
Sebab akan menimbulkan akibat, dan akibat akan menjadi sebab di kemudian hari, begitu seterusnya. Sebab selalu mendahului akibat, dan akibat selalu muncul setelah ada penyebabnya. Hubungan antara sebab dan akibat tidaklah linear. “setiap sebab, selalu mendatangkan akibat, namun tidak semua akibat, berasal dari sebab yang sama”. yang sama”. Misalnya [sebab] manusia dipenggal kepalanya, ia akan mati [akibat]. Namun tidak semua manusia mati [akibat], disebabkan kepalanya dipenggal, mungkin karena kecelakaan, dsb.
d.      Keharusan dan Kebetulan
Keharusan adalah sesuatu yang tidak boleh tidak, “pasti terjadi”. Keharusan menuntut segala sesuatu dipenuhi. Sedangkan kebetulan adalah tidak tentu, ia merupakan pertemuan antara dua keharusan oleh karena kondisi material.
Jadi, filsafat adalah pandangan manusia yang paling umum mengenai dunia secara keseluruhan mengenai gejala-gejala alam, masyarakat dan pikiran atau pengetahuan itu sendiri, oleh karenanya masalah hubungan antara pikiran dan keadaan, antara subyektif manusia dengan dunia obyektif. Mengenai hubungan tersebut dapat dilihat berikut. 
mengetahui
                                                [kepastian subyektif, kepastian obyektif]

                                mengabaikan                                                                   menyatakan
[ketidakpastian subyektif, kepastian obyektif]   [ketidakpastian subyektif, ketidakpastian obyektif]
                                               
                                                                              meyakini
                [kepastian subyektif, ketidakpastian obyektif]

Akhirnya, kita kembali melihat dan berpikir tentang sosok Sokrates. Tokoh peletak dasar filsafat ini menghargai kehidupan yang berperiksa-diri dengan sengaja menumbuhkan keragu-raguan terhadap apapun. Hanya dengan menghidupkan kehidupan semacam itu manusia bisa berbudi luhur dan juga turut mengantar masyarakat yang laik:
For I spend all my time going about trying to persuade you, young and old, to make your first and chief concern not for your bodies nor for your possessions, but for the highest welfare of your souls ... Wealth does not bring goodness [i.e., virtue], but goodness brings wealth and every other blessing, both to the individual and to the state. [Saya curahkan seluruh waktu saya dengan melakukan upaya membujuk kalian, pemuda dan orang tua, agar kepedulian pertama dan utama kalian bukan demi raga kalian atau pun harta kalian, melainkan demi kesejahteraan tertinggi jiwa kalian...Kekayaan tidak membawa kebaikan [yakni keluhuran], tetapi kebaikan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi individu maupun bagi negara].

Senarai Pertanyaan
Siapakah kita? Apakah kita memang hidup? Apa itu hidup? Apa ini bukan ilusi atau pikiran atau perasaan saja? Apakah memang kita ini ada? Apa yang membuat kita ini ada? Apa itu ada? Siapa yang membuat kita ada? Mengapa harus ada? Takdir, apakah manusia memiliki takdir? Apa itu takdir dan untuk apa kita hidup? Apa artinya kita hidup? Apakah sesuatu bermakna karena kita beri atau bermakna dalam dirinya sendiri? jika kita hidup apakah ada suatu jalan hidup yang lebih berharga dari pada jalan hidup yang lain? Bagaimana menjalani hidup? Bagaimana mengetahui jalan hidup yang baik? Atau jangan-jangan semua hidup itu sama saja?
Lalu, apakah kita sudah hidup dengan baik? Apa itu kebaikan? Apa itu keburukan? Mengapa sesuatu dikatakan lebih baik untuk dilakukan? Jangan-jangan kebaikan dan keburukan itu Cuma ada di kepala kita? Atau ada standard dari atau bentukan dari yang punya kekuasaan? Mereka membuat standar kebaikan untuk kepentingan mereka sendiri dan memperdayai kit? 
Apakah kita punya kenginan? Apa itu ingin? Mengapa kita punya keinginan? Apakah keinginan kita memang kita adalah keinginan orang lain? Lalu apa itu kebebasan? apakah manusia memiliki kehendak bebas, mengapa? Mengapa ada pemaksaan? Ada aturan? Apakah aturan itu benar? Menurut siapa kebenaran itu? Apakah ada standard kebenaran? Siapa yang paling benar? 

Tujuan diskusi ini bukan membuat paham apa itu filsafat tapi semakin mempertanyakan dan mencari lebih lanjut”



[1] Disampaikan dalam diskusi LKAT Demokrasi (Lingkar Kajian Tamansiswa untuk Demokrasi) di kampus FKIP UST pada 5 April 2011.
[2] Pernah kuliah di Jurusan Sastra Inggris UAD dan Jurusan Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga.

0 komentar:

Posting Komentar