twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa


Dunia pendidikan memang sesalu menarik untuk diperbincangkan, kapanpun dan dimanapun. Pendidikan tak bisa lepas dari hakikat manusia untuk terus belajar hal-hal yang baru disekitarnya, namun benarkah pendidikan dinegeri tercinta ini sudah membebaskan kita untuk belajar berbagai hal yang kelak kita butuhkan?
Kebijakan dalam dunia pendidikan sekarang ini tak lepas dari adanya kontroversi yang berkembang di masyarakat, banyak kalangan yang menilai bahwa produk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak memihak kepada rakyat massa dan mnyimpang dari esensi pendidikan itu sendiri.
Kita ambil contoh Ujian Nasional (UN) yang sedang berlangsung saat ini, tidak ada orientasi yang jelas terkait adanya kebijakan penyelenggaraan ujian nasional yang diselenggarakan pemerintah. Dengan dalih menaikkan kualitas pendidikan tapi kenyataanya terjadi banyak sekali kecurangan-kecurangan yang muncul tiap kali adanya UN, dari adanya bocoran jawaban, siswa saling mencontek terjadi kong-kalikong dengan guru dan masih banyak lagi kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh murid maupun penyelenggara pendidikan yang dalam hal ini adalah guru, kepala sekolah dll.
Tujuannya sih baik, yaitu untuk meningkatkan kualitas dan sebagai barometer mutu pendidikan. Namun sayangnya pemerintah abai akan tugas pokok atau kewajiban sebagai penyelenggara pendidikan, dimana tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dengan pendidikan sebagai sarananya dan tiap-tiap warga negara berhak menerima pendidikan yang berkualitas. Sekali lagi pemerintah lalai kewajibannya, belumlah semua warga negara mampu mengenyam pendidikan tetapi pemerintah sudah berkoar-koar untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Padahal bangsa kita saat ini lebih membutuhkan kuantitas dari pada kualitas pendidikan.
Ujian Nasional merupakan kebijakan yang terlalu ambisius yang dikeluarkan oleh pemerintah dan ini jelas merupakan tindakan perkosaan dalam dunia pendidikan kita. Dimana tidak, siswa dipaksa untuk bisa mencapai standar nilai yang ditentukan oleh pemerintah, namun disisi lain pemerintah abai dan tidak mampu memenuhi unsur-unsur yang bisa digunakan oleh para siswa untuk bisa memenuhi standar nilai tersebut. Tentunya ini tidak adil bagi para siswa yang ada didaerah perpencil dimana fasilitas sangat terbatas atau malah tidak ada fasilitas penunjang seperti perpustakaan dan buku-buku pelajaran yang dapat menambah pengetahuan siswa, tentunya ini berbeda jauh dengan sekolah-sekolah yang ada di kota dengan segala fasilitasnya.
Disilah terlihat ketidak adilan dan perkosaan terhadap siswa, pemerintah lupa [atau tidak tahu] bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak dengan standar nilai akhir, melainkan proses yang harus diutamakan. Seharusnya pemerintah dapat menaikan kualitas pendidikan dengan cara memenuhi unsur-unsur atau fasilitas penunjang belajar seperti perbanyak perpustakaan dan buku-buku bacaan, penambahan fasilitas internet untuk memperkaya wawasan, perbaikan gedung serta kualitas tenaga pengajar. Apabila unsur-unsur atau sarana penyelenggara pendidikan sudah baik, maka secara tidak langsung akan menaikkan kualitas output pendidikan juga.
Apabila pemerintah menerapkan kebijakan UN dengan alasan untuk memotivasi siswa untuk lebih giat belajar, menurut saya ini adalah alasan yang mengada-ada. Jelas, lagi-lagi ini merupakan tidak pemerkosaan terhadap siswa, untuk memberikan motivasi atau membangkitkan kesadaran siswa akan pentingnya belajar bukanlah dengan cara yang seperti itu. Seharusnya semua pihak yang “sudah sadar” akan petingnya belajar, ikut memberikan pemahaman akan arti pentingnya belajar. Yang kita serang pertama kali adalah kesadaran siswa untuk mau belajar, bukan dengan cara pemaksaan semacam UN. Sebaik-baiknya kebijakan, setinggi-tingginya kualitas guru dan selengkap apapun fasilitas maka hal itu akan menjadi sia-sia belaka kalau tidak ada motivasi belajar dari siswa. Oleh karena itu sangatlah penting membangun kesadaran kolektif menuju tindakan progresif dalam dunia pendidikan.
Dalam penyelenggaraan UN juga memakan anggaran yang tidak sedikit yaitu mencapai Rp 580 Miliar, bayangkan kalau itu digunakan untuk memperbaiki gedung sekolah yang roboh atau membeli buku-buku bacaan, tentunya banyak siswa yang akan merasa nyaman dalam belajar disekolah dan akan menambah pengerahuan siswa dengan buku-buku tersebut. Dengan dana sebesar itu tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan tindak korupsi oleh para penyelenggara pendidikan, baik dari tingkat pusat hingga tingkat daerah. Tentunya kita semua hanya bisa berharap agar pemerintah segera menyadari bahwa “dalam pendidikan yang terpenting adalah proses, bukan hasil akhir”. Yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah memperbanyak dan melengkapi fasilitas pendidikan serta melakukan penyadaran kepada siswa akan pentingnya belajar, bukan melakukan perkosaan kepada siswa untuk mencapai program peningkatan mutu yang begitu ambisius tanpa memperhatikan kebutuhan dan permasalahan yang ada di sekitar kita.
Diakui atau tidak Fenomena UN merupakan momok yang menakutkan dikalangan masyarakat, pun demikian dikalangan kepala sekolah, guru, siswa hingga orang tua siswa. Apa bila ada siswa yang tidak lulus UN, hal ini menjadikan citra sekolah menurun dimata masyarakat, hal ini juga yang menjadi penyebab banyaknya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pihak sekolah dengan membantu siswa denganc cara memberikan bocoran soal ujian atau memberikan kunci jawaban kepada siswa. Bagi orang tua yang anaknya tidak lulus UN, ini dianggap iab keluarga karena dianggap tidak bisa mendidik anak atau gagal mendidik anak. Yang paling banyak mengalami katakutan dalam menghadapi UN adalah siswa itu sendiri, meskipun sudah belajar dengan giat, rasa takut dan grogi itu pasti akan muncul.
Tentunya katakutan-ketakutan ini tidak sesuai dengan semangat Bapak pendidikan kita Ki Hadjar Dewantara, yang mana dalam pemikiran beliau “pembelajaran itu harus menyenangkan dan membebaskan”. Itulah kenapa dalam masa perjuangan menuju kemerdekaan beliau mendirikan sekolah rakyat yang diberi nama Tamansiswa, ini karena beliau menginginkan suatu konsep pendidikan yang nyaman dan menyenangkan layaknya taman bunga yang indah dan siapapun akan betah berlama-lama di taman itu untuk belajar.

0 komentar:

Posting Komentar