twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa


Demokrasi Dikampus

Kendala bagi perjuangan dilihat dengan sejauh mana perkembangan demokrasi baik dilingkungan keluarga maupun sosial. Alangkah tidak bagusnya, kejadian terhadap tidak terlaksana demokrasi banyak terjadi dilingkungan kampus. Padahal diketahui, merupakan tempat untuk menempuh pendidikan yang harus lebih banyak bicara demokrasi.

Misalnya saja, apa yang terjadi di papua, pemukulan oleh dosen di Universitas Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) Jayapura, Papua, terhadap ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Kasus pemukulan terjadi saat itu enam orang Mahasiswa UNIMED yang berencana ingin mengadakan aksi demonstrasi di Kampus dan lainnya. Lantas apa yang dilakukan pihak birokrasi yang berada dikampus dengan label intelektualnya, semuanya hanya omongan belaka yang hanya menciderai demokrasi dan pendukung kekeran.

Yang terbaru adalah kasus pemukulan dan DO mahasiswa UTY, dua mahasiswa di DO, dua mahasiswa di skorsing dua semester dan dua mahasiswa di skorsing satu semester. Hal ini terjadi saat puluhan mahasiswa melakukan aksi damai menuntut legalitas BEM ditingkat Universitas. Belum juga sempat berorasi, puluhan mahasiswa di pukuli oleh keamanan kampus dan preman bayaran.

Beberapa pihak dikampus menuding tidak stabilnya kampus dikarenakan, sejumlah perguruan tinggi belakangan ini ditengarai menjadi lahan subur bagi tumbuhnya gerakan mahasiswa dengan basis ideologi, tidak saja yang berhaluan kanan, tetapi juga yang berhaluan kiri. Sehingga ini dianggap berbahaya dan potensi kekerasan jauh lebih mudah muncul.

Disamping itu, pelarangan aktivitas politik dikampus meningkat pesat, dimana sampai saat ini masih banyak organisasi dilarang melakukan aktivitas dikampus, sementara bagi organisasi yang sifatnya tidak bersebrangan dengan kepentingan birokrasi tumbuh dengan fasilitas yang mapan.

Selain itu, pelemahan yang dialami juga bagi pengiat jurnalis (pers kampus), dimana media yang ada dikampus yang belum merata dan masih dalam control pihak rektorat. Sehingga pemberitaannya pun hampirnya seluruhnya terkendala, tidak sesuai dengan apa terjadi dilapangan.

Seharusnya ada komitmen bersama di setiap kampus untuk selalu mengedepankan prestasi dan karya, dengan membangun kultur akademik yang baik. Pola pikir mahasiswa pun harus berubah dengan menanamkan keyakinan bahwa kekuatan ide merupakan hal yang luar biasa.

Sehingga segala bentuk kekeran yang ada dikampus harus dihapuskan yang hanya menghambat budaya intelektual dengan berkembangnya diskusi untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Segala bentuk perbedaan ideology bukanlah suatu proses yang melatabelakangi kekerasan akan tetapi lebih kepada menumbuhkan daya kritis mahasiswa dalam menanggapi persoalan kuliah dan social yang cenderung hilang akibat kuatnya arus neoliberalisme pendidikan.

Tujuan mahasiswa, bagaimana mendapatkan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan sejaumana prakteknya demi kemajuan bangsa dan tugasnya dosen seharusnya membimbing bukan mendorong kejurang kehancuran.

Kemudian harus ada blok politik yang mengkampanyekan bahaya liberalisasi kampus, baik dalam bentuk pergaulan maupun mata kuliah yang membuat keluaran kampus cenderung pragmatis dalam menyingkapi hidup.

Biaya Masuk Perguruan Tinggi sangat Mahal

Potensi untuk menurunnya kualitas pendidikan kian terlihat, kenaikan dana untuk pembiayaan masuk ke perguruan tinggi yang meningkat drastis. Di beberapa daerah, itu sangat terlihat dengan menurunnya untuk melanjutkan pendidikan, banyak orang yang putus sekolah dan lain-lain.

Tahun ini, dibeberapa kampus tidak seramai tahun sebelumnya dipadati orang yang berbondong-bondong untuk mendaftarkan diri untuk mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi. Mereka saling bercengkrama dan berdiskusikan jika mereka lulus akan membanggakan keluarga dan sekolah.

Namun generasi kita telah kandas, biaya untuk masuk ke perguruan tinggi sangat mahal. Selain mahal, masih banyak biaya operasional yang harus dibayar, baik sebelum lulus maupun setelah lulus. Sebagian dari biaya ini tidak jelas untuk apa dan kemana uang itu.

Dalam penentuan pembiayaan, lembaga ekstra maupun intra kampus tidak pernah dilibatkan dalam menentukan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan calon dan mahasiswa baru yang kelak menggeluti pendidikan.

Sementara ini, peningkatan biaya itu masih saja terus meningkat dan tidak pernah ada upaya pihak kampus untuk melihat apa dampak bagi kampus dan dunia pendidikan khususnya.

Disisi lain, mengenai kualitas dan fasiltas yang masih terbelakang, belum merata diseluruh daerah, sehingga klasifikasi antara kampus kualitas rendah dan tinggi yang mengkotak-kotakkan output pendidikan masih kental.

Jika ingin melanjutkan pendidikan, berarti harus siap untuk mengeluarkan uang banyak, sehingga hasil pendidikan berkarakter untuk mencari cara mengembalikan uang yang telah dikeluarkan. Bukan lagi membangkitkan motifasi untuk menekuni pendidikan dan menghasilkan ilmuan yang menciptakan ilmu yang baru.

Untuk itu, pertama biaya bukanlah yang harus dinaikkan, akan tetapi membuka secara bebas siapa yang ingin melanjutkan sekolah. Membangun motifasi untuk belajar, sehingga menghadapi suatu persoalan dilandaskan pada proses untuk memecahkan masalah. Kedua menghilangkan watak pragmatisme, setelah selesai mencari pekerjaan meskipun itu tidak sesuai dengan bidang ilmu yang digeluti waktu kuliah. Rela menjadi petugas administrasi padahal sarjana teknologi yang siap menciptakan teknologi yang baru.

Sarjana dan Lapangan Kerja

Peningkatan sarjana dari tahun ke tahun begitu meningkat seiring banyaknya kampus yang didirikan, apakah itu swasta maupun negeri. Ini patut disadari bahwa ini adalah sebuah kemajuan, masih banyak yang berkesempatan untuk menikmati pendidikan ditengah menurunnya kepercayaan terhadap institusi pendidikan.

Apalagi sekarang, diperkirakan tahun 2011 ini akan meningkat dengan pesat dipengaruhi meningkatnya kampus. Menurut data yang terkumpul, diperkirakan hanya 10% yang akan mendapatkan pekerjaan bagi 80% lulusan universitas, jika 5 orang yang lulus, hanya 1 diantaranya yang akan mendapatkan pekerjaan.

Jika tidak mendapatkan pekerjaan, mereka akan melanjutkan studi untuk menunggu peluang kerja yang akan datang. Sebagian juga mencari kesibukan dengan kerja yang bukan produktif, hanya mengambil resiko bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari saja.

Untuk itu, pihak kampus sendiri yang harus menanganinya dengan jalan kerjasama dengan perusahaan jasa untuk menampung sarjana yang akan menurunkan kualitas kampus tersebut. Sementara pemerintah menutup mata dengan hal ini, dengan membiarkan terbengkalainya dan terlunta-luntanya jutaan orang yang merindukan pekerjaan.

Terus bagaimana yang tidak mempunya kemampuan khusus, nasibnya lebih parah lagi. Kalau pemerintah selalu mengatakan bahwa kemiskinan tiap tahun semakin menurun itu adalah salah. Data kemiskinan tahun 2009 mencapai 14% , sementara itu, diperkiarakan akan meningkat mencapai 20% dua tahun kemudian. Ini dikarenakan tidak adanya lapangan pekerjaan dan kebutuhan kerja semakin meningkat tiap tahun dengan pertumbuhan penduduk serta distiribusi ekonomi yang tidak merata.

Kemudian kemampuan yang dimiliki para sarjana akan tumpul dengan sendirinya karena tidak adanya fasilitas yang menunjang untuk mempratekkan ilmu yang dimiliki sehingga output dari pendidikan hanya berakhir pada teori saja tanpa pengujian secara ilmiah dimana menguji semua kemampuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Kehacuran industri sangat mempengaruhi tingkat kerja, dimana industri tersebut tidak lagi produktif karena guncangan arus modal yang besar sedangkan pemerintah lepas tangan dalam membangun industri sehingga negara ini kecenderungan konsumtif tanpa produktivitas.

Kehancuran industri nasional semakin terlihat, sudah berapa banyak perusahaan milik negara kini beralih fungsi menjadi milik asing. Industri rokok kretek yang dianggap bertahan, kini sudah terseok-seok dengan membanjirnya produk impor. Industri kita tidak bisa bertarung dengan asing, dimana dari segi manajemen masih besar budaya korupsi dan masih berbelitnya pengurusan bagi industri lokal, sementara asing dengan mudah dan tanpa hambatan administrasi.

Keadaan ini harus secepatnya diobati dengan mempertahankan industri yang ada, pertama memberikan modal yang besar dan membatasi masuk produk asing yang menguasai pasar. Kedua membangun infrastruktur untuk penyediaan lapangan pekerjaan bagi lulusan universitas agar terjadi perimbangan kekuatan, memperbaiki kualitas produksi serta berani untuk menyekolahkan keluar negeri untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan seperti apa yang pernah dilakukan bung Karno untuk menunjang pembangunan dalam menghadapi kolonialisme. Ketiga mengupayakan keterlibatan intelektual kampus terutama dosen untuk mengembangkan industri.

Kalau ini tidak tegas dilaksanakan, maka bangsa akan lambat tercapai, dan bisa saja berada pada kehancuran tenaga produktif.

0 komentar:

Posting Komentar