twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa


Oleh : Edi Susilo
A. Mengenal FTA?


Free Trade Agreement (FTA) merupakan mekanisme liberalisasi dan fasilitas perdagangan bebas barang dan jasa di suatu kawasan atau regional. Setelah perundingan perdagangan bebas global mengalami kemacetan di putaran Doha, maka banyak negara maju mengambil jalur “FTA” sebagai jalur pintas untuk menguasai pasar dunia ketiga.
Perdagangan bebas, baik di bawah payung WTO maupun FTA, sebetulnya merupakan kelanjutan dari praktik imperialisme modern. Seperti dikatakan Lenin, hakikat imperialisme adalah bagaimana negeri-negeri imperialis membagi-bagi negara-negara dunia ketiga, untuk melakukan perampokan bahan baku mentah, tenaga kerja murah, pasar untuk produk mereka, dan tempat penanaman modal (investasi) mereka.
Point utama FTA ini adalah penghapusan segala bentuk hambatan terhadap perdagangan barang dan jasa di antara negara-negara yang tergabung di dalamnya, seperti tarif, standarisasi, proteksionisme, dan sebagainya. Untuk menuntun perdagangan bebas regional ASEAN, telah dibentuk sebuah komisi khusus bernama AEC (ASEAN Economic Community).
Terhitung mulai Januari 2010, bea masuk produk manufaktur China ke ASEAN, termasuk Indonesia, ditetapkan maksimal 5 persen, sedangkan di sektor pertanian 0 persen. Dari perjanjian itu, Indonesia sendiri memasukkan sekitar 2.500 subsektor industri, kemudian sejumlah 2.528 pos tarif sektor industri manufaktur yang saat ini tarifnya 5 persen harus menjadi nol persen per 1 Januari 2010.
 
B. Kepentingan China-ASEAN 

Pertama sekali, sebelum kita berbicara soal siapa yang diuntungkan dan dirugikan oleh perjanjian ini, sebaiknya kita memeriksa kepentingan ekonomi-politik masing-masing negara yang termasuk FTA ASEAN-China ini.
Bagi China, seperti yang ditegaskan oleh Presiden dan sekaligus Sekjend Partai Komunis China, Hu Jintao, bahwa dunia sedang mengalami perubahan sangat penting. Dunia unipolar yang dibangun di bawah kedigdayaan AS selama puluhan tahun, setidaknya paska perang dunia ke II, sedang terlontar ke bawah. Bagi China, ini adalah kesempatan “langka” untuk menggeser posisi hegemonik tersebut, sekaligus menempatkan China menjadi negara terbesar di dunia.
Tidak mengherankan, pada tahun 2021 nanti, bertepatan dengan HUT PKC yang 100 tahun, mereka berkeyakinan akan memberikan prestasi akbar kepada rakyat, bahwa China sudah akan meninggalkan jauh AS dan sebentar lagi mewujudkan sosialisme.
Saat ini, seperti diungkapkan Walden Bello, Cina sudah menjadi pasar terbesar telpon selular di dunia, dan bahwa Ericsson, yang sedang dalam kesulitan, kini melangkah untuk mendirikan pabrik di Cina, menunjukkan bahwa para pemain kunci di sektor telecom (sebuah sektor penuh krisis) melihat china sebagai tanah penyelamatan. Di sektor industri, produk industri China kini mulai merajalela dan menerobos pasar dunia, antara lain, ponsel China sudah menguasai separuh pasar ponsel dunia.
Dalam beberapa tahun terakhir, China telah mendasarkan pembangunan ekonominya kepada industri berbasis ekspor. Sehingga, ketika pasar dunia mengalami kejatuhan permintaan akibat krisis, maka pemerintah China harus segera mencari alternatif pasar baru untuk mengatasi masalah tersebut. Dari situasi ini, dalam pikiran saya, bahwa China berusaha menunggangi FTA untuk tetap menjaga tingkat permintaan terhadap barang-barangnya.
Selanjutnya, secara ideologis dan politis, sekaligus sebagai konsekuensi dari hal di atas, FTA akan menjadi alat bagi China untuk menggusur dominasi AS dan Eropa di Selatan, sembari berusaha menciptakan orbit sendiri.
Sementara bagi negeri-negeri ASEAN- Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, mereka akan merasakan dampak dan konsekuensi berbeda. Bagi Malaysia dan Thailand, ini akan menjadi sedikit peluang bagi mereka, terutama dalam menghidupkan ekspor yang sedang melesu akibat krisis. Sementara bagi Singapura, sebuah negara yang sangat bergantung dari sektor jasa dan keuangan, ini akan menjadi “surga” tersendiri.
Bagi Indonesia dan Philipina, dua negara yang mengalami kerusakan paling parah akibat penerapan penyesuaian struktural, FTA ini akan menjadi semacam “lonceng kematian” bagi industri kedua negara.

C. Berbicara Soal Dampak bagi Indonesia
 
Sejak awal, kalangan industri sudah menyatakan kekhawatiran, bahwa FTA ASEAN-China akan menggerus industri nasional kita. Sebab, ketika barang-barang China beredar melalui “black market” saja, Industri dalam negeri kita sudah mengalami kontraksi besar-besaran, apalagi kalau memang perdangan bebas-terbuka.
Sungguh mengherankan, imbauan yang jauh-jauh hari secara berulang-ulang disampaikan Menteri Perindustrian (saat itu) Fahmi Idris agar FTA dengan China dalam kerangka ASEAN ini ditunda tidak mendapatkan perhatian yang semestinya dari pihak-pihak terkait, khususnya Departemen Perdagangan. Padahal, menurut Fahmi Idris,FTA dengan China sama artinya dengan membunuh industri nasional (Seputar Indonesia, 19/8/ 2009).
Tahun 2008 impor produk China mengambil alih 70 persen pangsa pasar domestik yang semula dikuasai sektor UMKM. Banjir produk murah dari China menyebabkan pangsa pasar usaha tekstil dan produk terkait (TPT) domestik menurun dari 57 persen pada 2005 menjadi 23 persen pada 2008. Di bidang ekspor, produk nonmigas Indonesia seperti tekstil dan mainan anak-anak juga makin disaingi produk produk sejenis dari China.
Indikatornya sudah jelas, tahun 2008 Indonesia mengalami defisit USD 3,61 miliar dalam perdagangan dengan China. Dalam perdagangan di sektor nonmigas, keadaan berbalik dari surplus USD79 juta pada 2004 menjadi defisit USD 7,16 miliar pada 2008. Bahkan sejak 2004,sebenarnya Bank Dunia telah memperkirakan bahwa China akan menjadi pesaing utama bagi ekspor nonmigas Indonesia untuk produk-produk seperti tekstil,produk TPT,mainan anak-anak, sepatu olah raga.
Defisit perdagangan China selama lima tahun dengan Indonesia membengkak, dan Indonesia merugi puluhan triliun dengan China. Indonesia hanya mengalami surplus perdagangan dengan China pada 2003. Tahun-tahun berikutnya, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan Cina.
Dalam hal penerimaan pajak, yang selama ini menjadi sumber pendapatan utama Indonesia, Dirjen Bea dan Cukai Depkeu Anwar Suprijadi mengatakan, bahwa kita berpotensi kehilangan penerimaan negara dari kepabeanan sebesar Rp 15 triliun—dua kali lipat dari dana Century yang kita ributkan.
Kondisi ini akan memperburuk kondisi industri manufaktur, terutama menengah ke bawah, yang merupakan penampung tenaga kerja paling besar. Akan terjadi PHK massa besar-besaran terhadap pekerja manufaktur. Pengusaha yang bertahan adalah pengusaha penyuplai bahan mentah, dan model seperti ini tidak menjanjikan masa depan, apalagi jikalau berbicara soal industri nasional.
Meskipun begitu, kita tidak bisa menafikan arti penting China dalam perekonomian dunia, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Jika dulu Lenin mengatakan, “kalau mau belajar berdagang, jadilah pedagang Eropa,” maka sekarang, kita perlu mengutip pendapat Nabi Muhammad SAW, “belajar menuntut ilmu hingga ke negeri China”.
Meskipun krisis, ekonomi China tahun ini diprediksi tumbuh sebesar 8%, sementar AS diprediksi hanya 2,5%. IMF, lembaga yang dikomandoi AS, memprediksi ekonomi China akan terus tumbuh dua digit pertahun (setara dengan 50% pertumbuhan ekonomi dunia).
Tidak bisa dipungkiri, bahwa ekonomi China telah menjadi ekonomi paling dinamis di dunia dan dianggap sebagai mercusuar bagi kesuraman ekonomi Dunia. Dan, pemulihan ekonomi China akan sangat berpengaruh kepada perbaikan ekonomi dunia. Kerjasama ekonomi dengan China, dalam beberapa hal, bisa menghela ekonomi Indonesia dan ekonomi negara kawasan.
D. Kita Harus Berunding
Di tengah krisis yang terus berkecamuk, dan kejatuhan permintaan di negeri-negeri maju, Indonesia merupakan salah satu “tanah penyelamatan” bagi kelebihan produksi di negeri maju, termasuk China. Alasannya adalah Indonesia memiliki pasar yang besar, 250 juta orang, dan terkenal dengan rakyatnya yang sangat konsumtif.
Belum lagi, kita memiliki sumber daya berupa bahan baku, tenaga kerja, dan posisi geografis yang strategis untuk lintas perdagangan, seharusnya menjadi “bargain” kita dalam melakukan negosiasi atau perundingan dengan bangsa lain.
Perubahan geopolitik dunia—unipolar ke multipolar—seharusnya menjadi kesempatan kita untuk membangun dialog dan perundingan dengan setiap bangsa, kekuatan baru, khususnya China. Kita harus memanfaatkan perubahan geopolitik dan perubahan perimbangan kekuatan ini untuk kepentingan industri nasional kita; menggusur modal-modal forto-polio dari AS dan Eropa, dan bekerjasama dengan modal-modal produktif dari China.
Adapun sikap kita;
Pertama, menolak secara prinsipil model perdagangan bebas ala neoliberal, sebab mereka hanya mengeksploitasi kelemahan negara-negara miskin oleh negeri-negeri unggul. Dalam kasus FTA ASEAN –China, apabila diibaratkan dengan penyakit, kita adalah korban yang paling rentang terkena penyakit dan paling sulit untuk disembuhkan.
Kedua, kita akan mengajak China, secara diplomatic-bilateral, untuk melakukan kerjasama ekonomi dan perdagangan secara adil dan menguntungkan. Kita membutuhkan investasi China di sektor infrastruktur dan sektor-sektor produktif, butuh transfer teknologi untuk memperkuat kapasitas industri kita, dan sebagainya.
Menurut saya, China, berbeda dengan imperialis AS dan Eropa, adalah negeri yang bisa diajak untuk duduk dalam meja perundingan secara setara, dan Amerika latin bisa melakukan ini dengan pemerintah China. Saat ini Venezuela, misalnya, sedang menggalang kerjasama bilateral dengan China dalam pembangunan infrastruktur dan eksplorasi minyak.
Ketiga, kita menuntut tanggung jawab pemerintah untuk Industri nasional kita, misalnya, soal pemenuhan energi bagi kebutuhan industri di dalam negeri (gas, BBM, dan batubara), perbaikan infrastruktur, pemberian kredit bagi industri menengah dan bawah, dan pemberantasan ekonomi biaya tinggi.
Langkah-langkah depends rejim neoliberal SBY-Budiono, di bawah nahkoda Hatta Radjasa, seperti sertifikasi, mencegah unfair trade, dll, adalah langkah-langkah “angin-anginan” dan tidak ada konsekuensi positifnya untuk menyelamatkan industri nasional.
Seharusnya, menurut kita, kalau pemerintah mau menghidupkan industri nasional, maka pilihan kebijakan yang harus dilaksanakan adalah;
a.    Menjamin pasokan energi bagi kebutuhan industri (gas, BBM, batubara, dan listrik). Pemerintah harus berani merubah kebijakan energi yang berorientasi ekspor menjadi pemenuhan kebutuhan domestic; artinya, ekspor bahan-bahan energi (BBM, batubara, gas) hanya boleh diekspor jikalau kebutuhan di dalam negeri sudah terpenuhi.
b.      Pemerintah harus segera mempercepat reformasi politik untuk memberantas ekonomi biaya tinggi, seperti korupsi, suap, birokratisme, dan “jatah preman” bagi industri. Pemerintah harus berani menangkap koruptor-koruptor kakap untuk memberi sentimen positif bagi kalangan dunia usaha.
c. Melakukan pembangunan infrastruktur memadai, seperti jalan-transportasi, pelabuhan, sistem telekomunikasi, pembangkit listrik, dsb.
d.    Memberikan fasilitas kredit kepada dunia usaha. Pemerintah seharusnya membangun bank khusus untuk membiayai kredit Industri atau investasi sektor produktif.

0 komentar:

Posting Komentar