twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa


Benarkah Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) batal. Sebagai masyarakat negara berdasarkan hukum (bukan kekuasaan) pembatalan itu harus diakui karena sudah diuji oleh lembaga yang berwenang. Akuilah bapak Menteri bahwa kebijakan itu belum tepat untuk Indonesia. Buatlah kebijakan yang mampu memayungi, mempertahankan, dan menambah  lembaga pendidikan karena negara ini kekurangan lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan di Indonesia melalui keputusan pemerintah  berubah haluan dari pengelolaan bersama (negara) menjadi swakelola oleh masing-masing lembaga pendidikan. Ujicoba dilakukan di beberapa perguruan tinggi, hasilnya perguruan tinggi tersebut berubah dari pendidikan untuk masyarakat menjadi pembiayaan masyarakat untuk pendidikan. Perubahan orientasi itulah berakibat kepada perubahan peserta didik. Syarat masuk paling popular berdasarkan berapa keberanian berkontribusi berupa uang bukan berdasar prestasi, memang ada jatah untuk orang berprestasi dan miskin tetapi sulit karena syaratnya  banyak.
Itulah sebagian fakta penolakan BHP yang sering dikemukakan oleh mahasiswa apabila mereka bertemu dalam forum nasional. Ada juga yang mendukung kehadiran Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Misalnya M. Hadi Shubhan dosen Unair, dalam Wacana Publik Radar Banten edisi 6 April 2010. Menurut Hadi, UU BHP untuk penertiban, melindungi masyarakat, dan mendorong penyelenggara pendidikan untuk menggali dana bukan lewat penarikan uang SPP kepada masyarakat.
Penulis percaya, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan bagi sebagian lembaga pendidikan yang sudah mapan menjadi jalan untuk berkualitas karena peluang kerjasama semakin terbuka. Tetapi jangan lupa, lahirnya Undang-Undang BHP bukan untuk beberapa lembaga pendidikan saja melainkan untuk mengatur penyelenggara pendidikan di Indonesia.
Beberapa tahun ini sebagian masyarakat Indonesia merasa prihatin terhadap dunia pendidikan setelah UU BHP diberlakukan. Keprihatinan itu disebabkan karena penyelenggara satuan pendidikan dibebaskan untuk mengelola dana secara mandiri disesuaikan dengan kreativitas masing-masing lembaga.  Kebebasan mengelola dana itulah yang dikhawatirkan oleh masyarakat menjadi kebebasan memungut biaya pendidikan.
Tujuan UU BHP memang mulia, untuk menguatkan posisi pendidikan. Tetapi hanya untuk kampus atau sekolah yang sudah diakui kualitasnya sehingga mudah bekerjasama untuk membiayai lembaganya. Bagaimana dengan lembaga pendidikan yang belum diakui kualitasnya, bukankah itu akan menjadi masalah untuk lembaga itu. Misalnya mengenai pendanaan, pasal 41 berbunyi, penyelenggara tidak boleh mendanai pendidikan dengan menarik uang kepada masyarakat lebih dari 30 persen atau sepertiga jumlah seluruh dana pengoperasian pendidikan. Berkesan memihak kepada masyarakat tetapi dibalik semua itu pemerintah lepas tanggung jawab.
Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional bagian kedua mengenai Badan Hukum Pendidikan, pasal 53, memang isinya memihak kepada masyarakat karena BHP berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik dan berprinsip nirlaba (tidak mengutamakan keuntungan) tetapi memberikan kemungkinan kepada lembaga pendidikan untuk bebas mengelola biaya.
Yang paling dikhawatirkan, lembaga pendidikan lebih focus mencari dana untuk mengelola lembaga daripada mengelola peserta didik. Bahkan karena semangat (berusaha) mencari dana sampai peserta didik pun dijadian objek usaha. Apalagi kalau pengelola lembaga pendidikannya berwatak pengusaha.
Setelah UU BHP dibatalkan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, Menteri Pendidikan Nasional mengumpulkan pemimpin perguruan tinggi untuk mengevaluasi UU BHP. Niat yang baik apabila dimaknai sebagai evaluasi atas kekeliruan kebijakan, tetapi berdasarkan info yang beredar bahwa pertemuan itu ditujukan untuk mengupayakan peraturan pengganti. Mengapa kebijakan pemerintah sekarang ini apabila dibatalkan oleh lembaga yang berwenang (MK,MA dll.) berkesan tidak mau menerima.
Hampir di setiap negara, pendidikan dijadikan ukuran kualitas bangsanya. Memang pendidikan lahir dari dua cara. Ada yang  berasal dari sekolah formal dan  pendidikan otodidak, tetapi pada akhirnya dua cara itu tidak menjadi bahan perdebatan apabila orang tersebut sudah pandai. Setiap pemerintahan negara memiliki perhatian khusus agar warga negaranya berpendidikan. Di Indonesia, pendidikan masuk ke dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945. Dengan begitu pendidikan menjadi kewajiban negara untuk mengurus dan membiayainya.    
Sejarah membuktikan, dikelola dan dibiayai oleh negara saja masih banyak masyarakat yang belum sekolah. Gedung sekolah ada sarana yang lain kosong, sarana lengkap, kualitas pengajar rendah, ada yang sekolah tetapi tidak mencapai target pendidikan dasar dan menengah. Di negara kita untuk mencerdaskan bangsa masih membutuhkan keterlibatan negara terutama pembinaan dan pembiayaan. Cukuplah mencoba BHP sampai tahun 2010 setelah itu kembalilah ke salah satu hakikat pembentukan negara seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD tahun 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Beben Somantri
-Penasihat IMAKIPSI
  (BEM FKIP,FIP,STKIP, dan F.Tarbiyah Indonesia)
-Sekjen IKA FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

0 komentar:

Posting Komentar