twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa


Oleh : Beben Somantri*
Ujian Nasional (UN) tidak pernah ditakuti oleh siswa, yang mereka takuti adalah soal-soal yang belum pernah mereka pelajari. Ujian atau evaluasi yang baik bukankah berdasarkan perencanaan belajar dan materi belajar disesuaikan dengan perencanaan yang  ditentukan sekolah masing-masing. Apabila ada soal ujian yang materinya belum siswa pelajari, layakkah itu disebut soal ujian. 
Konon UN bertujuan untuk mengetahui sejauh mana hasil yang telah dicapai selama tiga tahun pelajaran. Kalau salah satu tujuannya memang itu, berarti ujian harus disesuaikan dengan materi pelajaran sebelum ujian. Kalau UN menjadi tanggung jawab pemerintah dengan  soal yang seragam berarti semua sekolah pun harus memiliki sarana dan prasarana yang sama antara kualitas dan jumlahnya.
Mengapa pendidik dan sarana pendukung belajar  tidak dievaluasi secara nasional pula karena dua hal itulah yang membantu menentukan kualitas siswa. Apabila kualitas atau output pembelajaran dievaluasi, ukuran sukses tidaknya bukan ditentukan oleh nilai yang ada tetapi disesuaikan dengan perangkat pendukung pembelajaran itu. Apabila pendidik dan perangkat pendukung pembelajaran baik maka  peserta didik harus mendapat nilai baik tetapi  apabila pendidik dan sarana pendukung tidak baik atau kurang memadai maka ujian tidak memiliki ukuran khusus.
Sejak diberlakukan pada tahun 2005 sampai sekarang Ujian Nasional selalu menarik untuk dijadikan bahan diskusi atau berdebat. Maksud pemerintah memang baik agar ada evaluasi secara nasional tetapi maksud itu jangan digunakan untuk mengatur kehidupan pembelajaran siswa. Sebaiknya evaluasi dari pemerintah lebih difokuskan kepada sarana, kualitas pendidik, dan media pembelajaran.
Sejak dimulai tahun 2002, awalnya bernama Ujian Akhir Nasional yang sekarang menjadi Ujian Nasional bertujuan untuk mengetahui nilai setiap mata pelajaran. Mengapa sekarang pemerintah mengambil peran penting (penentu utama kelulusan siswa), itupun hanya beberapa pelajaran yang diujikan. Inilah ironi pendidikan,  ketika pembelajaran lebih difokuskan kepada sekolah dengan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pemerintah sebaiknya mempercayakan evaluasi kepada sekolah tempat siswa  belajar.
Penulis yakin dan percaya bahwa setiap evaluasi pasti bermanfaat. Berbagilah tugas antara sekolah dan pemerintah. Untuk evaluasi siswa, percayakan kepada guru karena menjadi tugas utamanya sesuai dengan Undang-Undang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 1. Pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam Undang-Undang Sisdiknas mengenai hak dan kewajiban pemerintah. Pasal 10 berbunyi, pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seandainya antara sekolah dan pemerintah bekerja bersama-sama dengan fungsi yang berbeda penulis yakin pendidikan di Indonesia  semakin baik. Gara-gara pemerintah mengambil porsi tugas guru, banyak sekolah yang melakukan kegiatan abnormal. Karena guru tidak pernah mengajarkan materi yang ada pada soal UN, daripada malu akibat nilai siswanya kecil maka guru tersebut membantu siswa dengan memberikan jawaban soal ujian. 
Gara-gara UN, sekolah  berlomba-lomba  meningkatkan nilai mata pelajaran yang di ujikan, hampir melupakan pendidikan budi pekerti dan pelajaran yang lain. Memang pemerintah tidak menganjurkan untuk mempelajari yang di ujiankan saja tetapi karena nilai UN menjadi penentu banyak hal, maka sekolah menargetkan (mengutamakan) nilai baik dengan berbagai cara.
Banyak pihak yang mengaku peduli terhadap pendidikan tetapi salah tempat. Menurut penulis, tidak perlu aparat pemerintah sampai terlibat langsung mengawal ujian dengan datang ke sekolah-sekolah. Anggota dewan perjuangkanlah pendidikan dengan kebijakanmu. Pemerintah daerah juga tidak perlu sampai repot-repot datang ke sekolah untuk mengawasi ujian, tetapi perjuangkanlah anggaran pendidikan agar minimal sesuai dengan pasal 31 Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan implementasikanlah.
Pemerintah tidak benar-benar tegas. Mengapa UN dua tahap, kalau untuk mengevaluasi pembelajaran semestinya ujian dilakukan hanya satu kali karena hasil ujian itulah yang menjadi penentu hasil proses pembelajaran selama tiga tahun. Dengan adanya ujian ulangan sikap pemerintah berkesan sedikit membantu siswa, padahal masyarakat sudah mengetahui ketika putusan Mahkamah Agung menolak UN, pemerintah sangat tegas tidak menerima putusan itu.
Dengan berbagai alasan yang dikemukakan oleh pemerintah penulis tetap  saja belum memahami manfaat UN. Sejak tahun 2002 sampai sekarang hasil ujian nasional kurang menyentuh pembelajaran dan kehidupan di sekolah. Kekurangan guru, minim buku sumber, rendahnya kualitas pendidik, sarana tidak memadai, dan minimnya honor guru masih menjadi persoalan pendidikan di Indonesia. Maaf, Ujian Nasional untuk apa?

*-Penasihat IMAKIPSI
   (BEM FKIP,FIP,STKIP, dan F.Tarbiyah Indonesia)
  -Fasilitator Sekolah Peradaban Cilegon


0 komentar:

Posting Komentar