"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar".
September
27
Filsafat adalah berfikir radikal. Berfikir
radikal adalah berfikir hingga ke “radik”, akar. Jadi berfikir filsafati dalam
pendidikan adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari pendidikan.
Pertanyan filsafati biasanya berkisar pada tiga hal; ontologis, epistomologis
dan aksiologis. Pertanyaan ontologis adalah pertanyaan yang menggugat
identitas; sebetulnya pendidikan itu apa ?. Sedangkan pertanyaan
epistemologis adalah pertanyaan yang menggugat cara; bagaimana suatu
pendidikan yang “apa”-nya sudah diketahui, dijalankan ? Dan yang ketiga (aksiologis)
adalah pertanyaan yang menggugat tujuan; untuk apa suatu pendidikan itu
digelar ?
Makalah singkat dan sederhana --yang dibuat
agak terburu-buru-- ini berusaha untuk menjelaskan tiga pertanyaan itu
semua.
Semoga bisa memperkaya wawasan kita sebagai para
pekerja pendidikan (education workers) !
Paradigma
adalah world view, cara memandang dunia. Dari suatu paradigma akan
terbentuk perilaku yang mencerminkan paradigma yang dianut. Bagaimana suatu
pendidikan sebagai sebuah perilaku kolektif dan sistemik memandang dunia,
adalah pertanyaan yang harus dijawab sebelum kita menentukan variabel-variabel
pendidikan lainnya. Paradigma pendidikan ini ditentukan oleh para pemegang kebijakan
sistem pendidikan (stake holder) seperti, pemerintah, kepala sekolah,
pemilik yayasan, pimpinan organisasi, dan sebagainya.
Dalam
menjawab pertanyaan, bagaimana pendidikan memandang dunia, ada tiga jawaban
yang lazimnya muncul. Yang pertama, adalah sistem pendidikan yang
memandang realitas luar sebagai sesuatu yang given, telah berlaku dari sononya,
tidak bisa/perlu dirubah, bahkan perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan
yang pro status quo. Para ahli filsafat pendidikan mengistilahkannya dengan
Pendidikan Konservatif.
Pendidikan konsevatif ini lazim diberlakukan
pada negara-negara dengan rezim yang otoriter. Rezim yang menggunakan kekuatan
represif untuk membungkam mulut rakyatnya. Rezim ini berusaha untuk mengelabui
masyarakatnya bahwa ketidakadilan dan penyakit sosial yang ada (seperti:
pengangguran, kriminalitas, konflik sosial, kemiskinan, kebodohan) adalah
sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah determinasi historis
(takdir sejarah). Pendidikan ini juga berusaha untuk memisahkan peran
pendidikan dengan realitas luar pendidikan. Pendidikan hidup dalam menara
gading yang tak tersentuh (karena mahalnya pendidikan) dan tak menyentuh
masyarakat banyak. Dari sistem pendidikan seperti inilah akan kita dapati
output pendidikan yang gamang ketika kembali ke realitas sosialnya. Persis
seperti cerita putra asli pedalaman kalimantan yang pergi menempuh pendidikan
di pulau Jawa dan ketika pulang kembali ke Kalimantan hanya menjadi “sampah”
masyarakatnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Berburu tidak bisa.
Bertani/berladang tidak bisa. Bahkan, berenang saja, sebagai suatu keahlian
wajib di Kalimantan yang banyak sungai, kagak gape !
Paradigma
pendidikan yang kedua adalah paradigma liberal.
Paradigma ini memandang bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena kelalaian
manusia itu sendiri. Kalau ada pengangguran maka itu adalah kesalahan
manusianya yang kurang kreatif, tidak berjiwa wirausaha dan malas. Kalau ada
kemiskinan kota (poor urban) itu disebabkan karena manusianya yang malas
berusaha di desa dan maunya hidup enak saja di kota. Pendidikan ini memang
lebih memusatkan pehatiannya pada diri manusia. Untuk itu pendidikan dengan
paradigma ini banyak menggelar praktek-praktek pengembangan manusia (istilah
yang biasa dipakai adalah human development, self management, melejitkan
potensi diri dan sejenisnya). Dari paradigma liberal ini pula lahir
pelatihan/training semacam AMT (Achievement Motivation Training) yang disusun
oleh David Mc Leland. Pelatihan ini berasumsi bahwa kemelaratan masyarakat
disebabkan oleh kurang dimilikinya need of achievement (virus
berprestasi) dalam masyarakat itu. Untuk itu training-training AMT banyak
digelar oleh negara-negara kaya di negara-negara dunia ketiga (development
and under development countries) untuk menyebarkan virus berprestasi di
tengah-tengah rakyatnya.
Pendidikan liberal ternyata tidak berperan
banyak untuk mengatasi ketimpangan sosial. Ideologi developmentalisme yang
berada dibelakang paradigma pendidikan ini malah melahirkan sekelompok masyarakat
elit baru yang tidak mau menyentuh masyarakat yang ada dibawahnya. Efek menetes
yang diyakini oleh developmentalisme ternyata hanyalah khayalan. Masyarakat
bawah enggan disentuh karena dipandang mereka sebagai masyarakat yang malas.
Inilah pola pendidikan yang blaming the
victim !
Paradigma pendidikan yang ketiga adalah paradigma
pendidikan kritis. Pendidikan kritis memandang, bahwa pendidikan
harus secara utuh meresapi dan menyatu di tengah-tengah masyarakatnya.
Paradigma ini memandang akar ketidakadilan sosial adalah sistem yang berlaku
pada masyarakat itu. Sistem itu dapat
berupa sistem politik (yang otoriter dan anti demokrasi), sistem sosial
(yang melestarikan kasta-kasta dan menghambat laju mobilitas sosial), sistem
ekonomi (yang kapitalistik, dan anti kerakyatan) sistem budaya (yang patriaki
dan anti egaliter), bahkan sistem pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat
pengukuh kekuasaan dan pro status quo). Untuk itu pendidikan kritis berupaya
melahirkan individu-individu (dan akhirnya masyarakat) yang mampu
mendekonstruksi dan merekonstruksi sistem yang ada. Pola pendidikan inilah yang
berupaya untuk diperjuangkan oleh Paulo Freire, seorang ahli pendidikan dari
Amerika Latin yang berupaya untuk menghapuskan buta huruf sekaligus menggali
akar kemelaratan sosial di Brazilia.
Pola pendidikan yang kritis ini nyatanya tidak
diminati oleh para ahli pendidikan (yang memang produk dari pendidikan
konservatif) sehingga bentuk prakteknya jarang kita saksikan di Indonesia.
Pendidikan ini lebih populer di kalangan aktifis LSM/NGO “kiri” yang anti
kemapanan dan pro HAM. Karena itu pula, bangunan ilmiah dari paradigma kritis
ini masih terus tumbuh dan berkembang.
Setiap
praktek pendidikan membentuk kesadaran. Kesadaran ini dapat didefinisikan juga
sebagai pandangan hidup yang menjadi pola (pattern) yang mempengaruhi penerimaan
pengetahuan, sikap dan perilaku yang merupakan hasil transfer dari pendidikan
itu. Secara komunal, kesadaran ini akan menjadi kesadaran masyarakat yang
mempengaruhi pola hidup masyarakat.
Menurut
analisis Freire ada tiga kesadaran yang menjadi turunan dari tiga paradigma
pendidikan di atas.
Pertama,
adalah kesadaran magis. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, kesadaran
magis terbentuk pada masyarakat yang masih mempercayai hal-hal yang
supranatural. Masyarakat ini meyakini bahwa kekuatan terbesar yang mempengaruhi
kehidupan mereka adalah hal-hal yang gaib, mistis, supranatural (luar alam).
Sehingga hal-hal gaib ini harus di-“tundukkan” dengan sesajen dan do’a-do’a.
Kuntowijoyo menyebut masyarakat ini sebagai masyarakat pada tahap mitos. Masyarakat
dengan kesadaran magis, adalah masyarakat yang deterministik, pasrah pada
takdir. Masyarakat ini akhirnya, nrimo saja terhadap ketidak adilan
sosial yang terjadi. Di tinjau dari paradigma pendidikan, masyarakat dengan
kesadaran magis adalah masyarakat hasil dari pendidikan konservatif.
Kedua, adalah kesadaran
naif. Masyarakat dengan kesadaran naif adalah masyarakat yang memandang
bahwa setiap ketidakadilan sosial berakar dari kelemahan manusia. Secara
arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat dengan kesadaran naif terbentuk pada
masyarakat yang percaya bahwa kekuatan natural (alam) adalah kekuatan terbesar
yang mempengaruhi segala masalah di dunia ini. Untuk itu kekuatan alam harus
ditundukkan oleh tangan manusia. Bila alam tak bisa ditundukkan oleh manusia,
yang itu akan mengakibatkan kekacauan, maka manusia itulah yang lalai dan
lemah. Untuk itulah maka diciptakan mesin-mesin yang berfungsi untuk membantu
manusia menundukkan alam. Dalam era penciptaan mesin-mesin yang menggantikan
manusia itulah muncul ideologi-ideologi politik dan sosial besar dunia
(kapitalisme dan sosialisme). Sehingga, Kuntowijoyo mengistilahkan masyarakat
pada tahap ini adalah masyarakat pada tahap ideologis. Pendidikan paradigma
kedua (liberal) adalah pendidikan yang memproduksi masyarakat dengan kesadaran
ini.
Ketiga,
adalah kesadaran kritis. Yaitu masyarakat yang menyadari bahwa kekacauan
di dunia ini diciptakan oleh sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Secara arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat kritis adalah masyarakat yang
keyakinannya telah bergeser dari kepercayaan kekuatan terbesarnya kepada alam
menuju kekuatan manusia. Untuk itu kekuatan manusia yang menjelma pada sistem
ini harus ditundukkan dengan “ilmu” dan kesadaran kritis. Karena itu pula
Kuntowijoyo menyebut masyarakat pada tahap ini dengan istilah “masyarakat
ilmu”. Hanya pendidikan kritis-lah yang dapat menghasilkan kesadaran kritis
ini.
Secara umum ada tiga tujuan pendidikan yang
biasanya ingin dicapai oleh para pelaku pendidikan. Hal ini berdasarkan pada
tiga tindakan sosial (social act) utama manusia yang diungkapkan Jurgen
Habermas. Tiga tindakan itu adalah; tindakan karya (work), tindakan
komunikasi dan tindakan pembebasan.
Pendidikan yang bertujuan karya (work)
adalah pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia “siap
guna”. Dapat bekerja, baik sendiri maupun bersama-sama untuk melestarikan dan
memajukan sistem yang telah ada. Secara ekstrim, pendidikan yang bertujuan
karya ini akhirnya akan menciptakan manusia yang cinta pada benda mati
(nekrofili) dan tidak cinta pada manusia yang lain (biofili). Manusia nekrofili
akan merasa utuh kemanusiaannya jika memiliki harta kekayaan dan kekuasaan,
meskipun tidak dicintai oleh manusia lainnya.
Pendidikan dan pelatihan yang belangsung selama
ini hampir 90% bermain pada wilayah kekaryaan ini. Secara umum pendidikan
dengan tujuan kekaryaan ini memakai behaviorisme sebagai landasan teori
belajarnya, disamping juga sedikit teori kognitif dan humanistik.
Berikut ini simpul-simpul teori-teori belajar
tersebut menurut Ernest Hilgard dan Gordon Bower dari Standford University :
Dari teori S-R :
1
Murid harus aktif
2
Frekuensi latihan yang cukup tinggi sangat penting untuk memperoleh
ketrampilan dan retensi (penguatan daya ingatan) dilakukan belajar secara
berulang-ulang.
3
Sangat diperlukan re-enforcement: murid yang dapat mengulang dengan baik
dan menjawab dengan benar dapat diberi ganjaran.
4
Generalisasi dan diskriminasi memberi kesan akan pentingnya praktek
dalam konteks yang bervariasi, sehingga belajar adalah penting bagi jajaran
stimuli yang lebih luas.
5
Tingkah laku yang baru dicapai lewat peniruan model, pengenalan dan
pembentukan tingkah laku,
6
Drive state
diperlukan juga, tetapi ini berbeda dari sikap, atau dalam drive state
ini mereka tidak perlu menyesuaikan secara keseluruhan pada prinsip-prinsip drive
education yang didasarkan pada eksperimen “penghilangan makanan”.
Dari teori kognitif :
1
Organisasi pengetahuan yang akan disajikan tidak mengalami arbitrasi.
Prosedur penyajian materi tidak sekedar berlangsung dari yang sederhana hingga
yang kompleks, tetapi dari keseluruhan sampel sampai keseluruhan yang lebih
kompleks.
2
Secara kultural belajar relatif. Situasi belajar dipengaruhi oleh
kebudayaan secara luas maupun oleh sub-kebudayaan dimana orang merasa memiliki.
3
Cognitif feedback
semestinya mengkonfirmasikan pengetahuan yang benar dan membuat koreksi
terhadap belajar yang salah. Murid mengusahakan sesuatu secara profesional dan
kemudian menerima atau menolak apa-apa yang dikerjakan atas dasar
konsekuensi-konsekuensi.
4
Penentuan tujuan belajar oleh murid sangat penting sebagai motivasi
belajar, keberhasilan dan kegagalan belajar itu sangat menentukan bagaimana ia
menetapkan tujuan-tujuan di masa yang akan datang.
5
Pemikiran yang berbeda-beda yang mengacu pada pemilihan alternatif perlu
dikembangkan secara terpadu dan hanya mempunyai satu cara yang logis untuk satu
jawaban yang benar.
Dari teori motivasi dan kepribadian :
1.
Memperhatikan kemampuan masing-masing murid sangat penting. Rata-rata
cara dan waktu belajar masing-masing individu sehingga harus diakomodasikan
dalam desain training.
2.
Perkembangan setelah bayi lahir, pengaruh keturunan, serta bakat dan
kemampuan sama pentingnya untuk diperhatikan.
3.
Tingkat ketegangan (anxiety) mempengaruhi belajar manusia antara
satu individu dan yang lainnya.
4.
Situasi yang sama mungkin saja menghasilkan motivasi yang berbeda-beda,
tergantung apakah mereka diarahkan untuk kebutuhan afiliasi atau pencapaian
tujuan.
5.
Organisasi motif dan nilai yang terkandung dalam individu sesuai dengan
cara belajarnya. Orang cenderung belajar apa-apa yang dipandang perlu bagi
khusus dirinya.
Tujuan pendidikan yang kedua adalah
interaksi atau komunikasi. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan
masyarakat yang egaliter yang mampu bekerjasama dan berinteraksi untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan. Dalam dunia industri, pelatihan komunikasi juga
kerap diselenggarakan namun dalam kaitannya sebagai komplemen dari training
ke-karya-an.
Pendidikan komunikasi meniscayakan lingkungan
belajar yang saling menghormati, menghargai, saling terbuka, dan bebas dari
saling menghujat. Dalam lingkungan belajar yang emansipatoris itulah akan
muncul segala potensi-potensi individu yang dikelola sedemikian sehingga
menjadi kekuatan kelompok. Pendidikan ini, bila dilepaskan dari kepentingan
kapitalisme, dapat menghantarkan pesertanya menjadi manusia-manusia biofili,
manusia yang lebih menghargai nilai kemanusiaannya manusia yang lain.
Pendidikan komunikasi sebagai wahana pengelolaan
kekuatan individu menjadi kekuatan kelompok (group dynamic) memakai
teori psikologi Gestalt sebagai teori belajarnya. Psikologi Gestalt diciptakan
oleh Kurt Lewin dengan simpul-simpul pemikiran sebagai berikut :
1.
Inti dari konsep pengaruh medan adalah, “Sebuah lingkungan selalu berada
dalam pengaruh kekuatan medan”. Istilah kekuatan medan diambil dari teori medan
magnet ilmu fisika, yang dalam medan magnet pusat kekuatan terletak pada
butir-butir magnet yang masing-masing mempunyai daya dorong dan daya tarik
terhadap satu sama lainnya, sedangkan pada kelompok manusia, pusat kekuatan
medan terletak pada aktor-aktor secara individual yang berada di suatu
lingkungan yang masing-masing memiliki tujuan.
2. Lewin menjelaskan bahwa
perilaku seseorang merupakan fungsi dari kepribadian (personality) dan
pengaruh lingkungan (environment)
sekitarnya. B = f (P.E)
3. Menurut
Lewin ada tiga kekuatan yang berpengaruh dalam suatu medan. Yaitu aprreciation
(-), influence (+) dan controll (-/+).
4. Totalitas
dari ketiga kekuatan di atas menciptakan medan yang meneukan jalannnya proses
interaksi sosial, yang disebut dengan group dynamic
Tujuan pendidikan yang ketiga adalah pembebasan. Pendidikan
pembebasan bertujuan agar manusia tidak hanya menyadari kekuatan-kekuatan
individunya (yang dilatih dalam training kekaryaan), namun juga menyadari
kekuatan-kekuatan kelompoknya (yang diasah dalam training interaksi), dan
realitas struktural yang melingkupinya, sehingga mereka dapat membebaskan diri
dari struktur yang membelenggunya.
Dalam praktiknya, pendidikan pembebasan lebih banyak memakai
asumsi-asumsi training untuk berinteraksi, sehingga seringkali training
interaksi dan pembebasan berbaur menjadi satu tema, “participatory learning”.
Bila training untuk interaksi sulit ditemui maka training untuk
pembebasan lebih sulit lagi untuk dijumpai dan didapatkan contohnya. Namun,
sekali lagi literatur-literatur dari Paulo Freire dapat kita jadikan rujukan
dalam menggagas training perubahan di masyarakat kita.
Demikian
makalah singkat ini disajikan. Beberapa hal yang belum dibahas pada tulisan ini
meliputi kajian mengenai aspek-aspek teknis seperti ; pendekatan pendidikan,
peran guru/fasilitator pendidikan, metodologi, media pendidikan, dan evaluasi, insya
Allah akan dibahas pada tulisan berikutnya.
Literatur
untuk pengembangan lebih lanjut :
1. Mansour Fakih, Russ Dilt, et all. Pendidikan
Popular, Membangun Kesadaran Kritis, REaD Books, Yogyakarta, 2001
2. Drs. Baderel Munir,MA, Dinamika Kelompok,
Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang, 2001
3. Hildegard Wenzler-Cremer & Maria
Fischer-Siregar, Proses Pengembangan Diri, Permainan dan latihan dinamika
kelompok, Grasindo, Jakarta, 1993.
4. Solita Sarwono, Kumpulan Latihan Dinamika
Kelompok,Badan Penerbit UI, Jakarta, 1982
5. Roem Topatimasang, Sekolah Itu Candu,
penerbit dan tahun terbit lupa.
6. Paulo Freire, Pedagogy of The Oppressed,
Pendidikan Kaum Tertindas (terj.), LP3S, tahun terbit lupa.
7. Mansour Fakih, Utomo Danandjaya, et all. Panduan
Pemandu Pelatihan Orang Dewasa, P3M, tahun terbit lupa (sekitar 1984)
8. Makalah Andragogy dan Dynamic Group
(terj.) dari Malcolm Knowles (tahun terbit lupa)
9. Buku-buku mengenai pendidikan orang dewasa dan
pendidikan kritis lainnya.
...kami
adalah mata pena yang tajam
yang
siap menggoreskan kebenaran
tanpa
ragu, tumbangkan kedzoliman ...
(Tekad,
Izzatul Islam)
September
27
Dalam marah
kuputuskan
Perpisahan
berujung kesedihan
Sekarang aku hanya
bisa berharap
Agar tak menyesal
dikemudian
Atas apa yang
telah kulakukan
Yang lalu biarlah
berlalu
Biarlah menjadi
kenangan diantara kita
Yang bisa kita lakukan
sekarang
Adalah mengambil
hikmah pelajaran
Dari apa yang
pernah kita lakukan
Dalam do’a, aku
memohon
Agar kau selalu
dalam lindungan-Nya
Dan apa yang telah
Ku putuskan,
Adalah yang
terbaik bagi kita
September
27
Ku akui, kau paling pandai merayu
Hingga kemarahanku yang bembara
Mampu kau padamkan dengan bujuk-rayumu
Baru kali ini, ada seseorang yang mampu
Meredam emosi dan meluluhkan kerasnya
kepalaku
Kau memang berbeda
Dan belum pernah kujumpa
Wanita sepertimu, kau yang pandai merayu
Dalam rayumu aku tertunduk
Tak kuasa untuk melawan, kehanyatan dan
kelembutan
Kata-kata yang terucap dari bibirmu
September
27
Sekarang
kau bebas, merdeka…
Terbang
dan hinggap dimanapun kau suka
Percayalah,
tak akan ada lagi
Yang
akan mengusik keberadaanmu
Membentak
atau memarahimu
Sekarang
kau bebas, merdeka…
Untuk
mengungkapkan isi hatimu
Mewujudkan
semua inginmu
Dan
menggapai bahagiamu
Kasih,
teruslah bermimpi dan berjuang
Mewujudkan
cita dan cintamu
Demi
masa depan dan kebahagiaanmu
Tak
usah kau pedulikan, segala tentang diriku
Karena
sekarang kau sudah bebas, merdeka!!!
September
27
Ya… Allah dengarkanlah do’aku ini
Ini do’a yang tulus dari dasar hati…
Do’a untuk sahabat yang saya sayangi…
Ya Allah… lindungi dia dalam genggaman-Mu,
Sinari langkahnya dengan cahaya-Mu,
Tenangkanlah hatinya dalam kegalauan,
Hiburlah dia dalam kesepian…
Ya Allah… buatlah dia selalu tersenyum bahagia,
Jangan biarkan dia teteskan air mata,
Hiasilah hari-harinya dengan cinta…
Agar dia rasakan anugerah terindah yang Engkau ciptakan….
Ya Allah… Jangan biarkan dia lupakan aku!!!
Karena dia adalah sahabat yang sangat berarti untukku…
Amien…
Langganan:
Postingan (Atom)