twitter
rss


"Kita tidak membutuhkan penjejalan, tapi kita membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan pikiran dari setiap siswa dengan pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta yang mendasar". ~Karl Marx~

Banyak Baca Banyak Rasa


Hampir seabad sudah Tamansiswa berdiri, perguruan dengan konsep pendidikan kerakyatannya yang berjuang untuk mencerdaskan dan memerdekakan kehidupan bangsa kini mulai luntur. Tentunya ini menjadi kritik tersendiri bagi Tamansiswa yang dalam pendiriannya menyatakan diri sebagai satu-satunya perguruan berbasis kerakyatan. Dengan ke-tujuh azasnya yang begitu mulia seharusnya Tamansiswa harus lebih maju dan progresif dalam perjuangannya melawan pembodohan, penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Namun diusiannya yang hampir satu abad ini, Tamansiswa   mulai kehilangan arah perjuangannya.
Ki Hadjar memberi nama perguruannya dengan kata Tamansiswa   bukan tanpa alasan, Ki Hadjar mendirikan perguruan Tamansiswa   dengan harapan terciptanya tatanan masyarakat yang damai, aman, penuh dengan keindahan dan kesejukan ketika berada didalamnya layaknya taman yang akan indah jika ditumbuhi beraneka ragam bunga didalamnya. Sungguh cita-cita yang begitu mulia nan indah jika berhasil diwujudkan tentunya, bunga apapun boleh tumbuh di taman asalkan akan menciptakan banyak warna dan membuat taman menjadi lebih indah. Yang tidak boleh dibiarkan hidup di taman adalah benalu-benalu yang akan menghisap bunga-bunga lain, yang membuat bunga-bunga layu dan mati. Itulah kenapa Ki Hadjar memberi nama Tamansiswa   karena beliau ingin membuat taman yang indah dan siapapun akan betah berlama-lama di taman itu.
Mungin sidang pembaca masih bertanya-tanya dalam hati, kenapa saya hendak mengkritik Tamansiswa  ? Kalau dulu Ki Hadjar pernah mengkritik Belanda dengan tulisannya yang berjudul “Andai Aku Orang Belanda” dan belum lama ini Daud Yusoef pernah mengkritik Tamansiswa   dengan judul “Andai Aku Orang Tamansiswa  ”, maka saya juga akan mengkritik Tamansiswa   yang notabene adalah perguruan saya sendiri. Bukan maksud saya untuk mengurai kelemahan Tamansiswa   saat ini atau untuk mencari sensasi, tapi yang jelas saya hanya berusaha menyadarkan dan mengingatkan generasi muda Tamansiswa   bahwa Tamansiswa   pernah besar dan punya tujuan yang sangat mulia. Saya hanya ingin mengingatkan kepada generasi muda Tamansiswa bahwa Tamansiswa   pernah begitu dielu-elukan oleh bangsa ini dan begitu disegani atas keberaniannya menentang segala bentuk penindasan di negeri ini, Tamansiswa pernah menjadi pelopor dalam perjuangan kemerdekakaan bangsa dari segala bentuk pembodohan oleh kolonial.
Kritik pertama; untuk pemuda Tamansiswa   [Mahasiswa]
Tamansiswa  dengan konsep kerakyatan dan persatuan naionalnya kini mulai kehilangan taring kepeloporannya dalam melawan kezaliman dan ketidak adilan dinegeri ini. Kita lihat, sekarang ini kader-kader muda Tamansiswa  [Mahasiswa-red] sudah sangat jauh dari semangat berjuang untuk kepentingan bangsa ini. Mereka masih disibukkan oleh permasalahan-permasalahan internalnya, banyak sekali letupan-letupan konflik kecil yang timbul diantara mereka yang seharusnya sudah tuntas seiring bertambahnya kedewasaan dan umur perguruan Tamansiswa  .
Perlu diketahui bersama bahwa Tamansiswa punya cita-cita yang luhur dalam membangun persatuan bangsa, hal ini dapat dilihat dari azas Tamansiswa   yang pertama Setiap orang berhak mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertib persatuan dalam kehidupan umum”. Sudah jelas bahwa Tamansiswa  tidaklah bersifat eksklusif dan bukan diperuntukan bagi suku bangsa tertentu, agama tertentu, aliran atau paham-paham terentu yang ada dinegeri ini. Tamansiswa menghormati tiap-tiap individu untuk mengatur dan menentukan jalan hidup tiap manusia dengan berlandaskan pada semangat persatuan membangun bangsa. Selama aliran-aliran atau paham-paham lain tidak mengancam persatuan nasional maka Tamansiswa  wajib untuk ikut mendukung kerja-kerja dan tidak boleh melemahkan atau menghancurkan semangat persatuan bangsa itu.
Kalau dijaman perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia musuh utama Tamansiswa  adalah kolonial Hindia Belanda, maka dijaman sekarang musuh utama Tamansiswa adalah neoliberalisme atau yang biasa diartikan sebagai penjajah gaya baru. Seperti yang dikemukakan oleh William Grigsby bahwa “Neoliberalisme bukan hanya ideology yang menjajah masyarakat dunia dengan kolonialisme tersembunyi, tetapi juga merupakan sebuah ideology yang mengubah masyarakat menjadi sekedar konsumen; Dan bukan hanya menjadi konsumen, masyarakat juga diubah mentalnya menjadi apatis, sinis, dan sangat individualis...”. Mengingat begitu besar bahaya yang timbul oleh Neoliberalisme maka Tamansiswa   terutama tokoh mudanya [Mahasiswa] harus ikut bersatu dan berjuang dalam kerja-kerja mewujudkan persatuan nasional.
Sekali lagi saya mengingatkan kepada generasi muda Tamansiswa bahwa Tamansiswa   diciptakan tidaklah eksklusif, itulah kenapa kampus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai bagian dari perguruan Tamansiswa   menggunakan jargon kampus kerakyatan. Ini menjadi bukti bahwa Tamansiswa   ingin berjuang untuk kepentingan rakyat, jadi apabila ada paham atau idiologi lain diluar Tamansiswa   yang ikut berjuang dalam membangun persatuan nasional dan keterpihakan pada bangsa ini, maka Tamansiswa wajib mendukungnya. Kita semua tahu bahwa banyak sekali musuh yang ikut menggerogoti kedaulatan bangsa ini tapi perlu diingat bahwa musuh utama kita adalah imperialisme dan neoliberalisme yang harus dilawan bersama-sama dengan jalan persatuan nasional.
Pun demikian di Tamansiswa, saat ini banyak sekali pihak-pihak yang ingin melemahkan perjuangan Tamansiswa, baik dari dalam Tamansiswa   sesendiri maupun dari pihak-pihak diluar Tamansiswa. Banyak sekali pihak-pihak yang mengaku orang Tamansiswa   namun kerja-kerjanya tak pernah sedikitpun berusaha untuk membangun Tamansiswa, malah ada yang lebih parah lagi yaitu pihak yang mengaku orang Tamansiswa   tapi kerjanya memecahbelah Tamansiswa . Tentunya ini menjadi tugas bersama bagi pemuda Tamansiswa   yang mengaku progresif revolusioner untuk bisa mengembalikan kejayaan Tamansiswa dan juga mengembalkan arah perjuangan Tamansiswa   yang sesungguhnya, yaitu keterpihakan terhadap rakyat dan mewujudkan persatuan nasional. Jangan pernah mengaku pemuda Tamansiswa yang progresif revolusioner kalau kerja-kerjanya masih menunjukan sikap kontra-revolusioner yang selalu menindas sesama dan menciptakan letupan-letupan konflik sesama keluarga Tamansiswa .
Saya orang Tamansiswa, saya bangga dengan Tamansiswa  dan bangga dengan konsep-konsep perjuangan Tamansiswa, tapi saya tidak pernah menganggap bahwa Tamansiswa adalah yang terbaik. Itulah kenapa saya banyak bergaul dan belajar dari kawan-kawan diluar Tamansiswa, hal ini saya lakukan karena saya punya keyakinan bahwa Tamansiswa   akan jauh lebih baik dan sempurna jika banyak ilmu lain yang kita pelajari diluar sana dan dari ilmu-ilmu yang baik itu kita saring, dan kita terapkan sesuai dengan culture di Tamansiswa.
Kita tahu bahwa Tamansiswa didirikan oleh Ki Hadjar dewantara dengan berbagai paham ilmu, baik ilmu lokal maupun ilmu impor yang kemudian dikombinasikan dan disesuaikan dengan kearifan lokal sehingga mampu menghasilkan konsep pendidikan yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Kita harus akui bahwa Ki Hadjar juga mempelajari ilmu dari tokoh India yaitu Tagore, Mentassouri dari Italia, Pertalozzi, Dr. frobel dll. Jadi tidak ada alasan untuk pemuda Tamansiswa  menutup diri dengan dunia luar dan pahan ilmu dari luar Tamansiswa.
Perlu diingat bahwa sebagian konsep-konsep yang diterapkan di Tamansiswa   adalah hasil penyaringan yang dilakukan oleh Ki Hadjar terhadap paham-paham ilmu dari tokoh-tokoh luar negeri yang tentunya sudah disaring dan disesuaikan dengan kultur budaya Indonesia. Jadi saya kira Tamansiswa  tidak perlu takut atau membatasi diri untuk belajar banyak hal di luar Tamansiswa asal mempunyai tujuan persatuan nasional dan tidak mengarah pada perpecahan bangsa.
Yang harus ditekankan kepada generasi muda Tamansiswa   adalah berjuang bersama-sama mewujudkan persatuan nasional, tak peduli macam suku bangsa, macam agama, aliran atau paham-paham terentu yang ada dinegeri ini. Yang dibutuhkan sekarang ini adalah persatuan nasional untuk melawan neokolonialisme, jadi janganlah Tamansiswa   menjadi golongan yang elitis dan merasa yang paling benar. Tamansiswa   harus mengevaluasi diri terhadap kerja-kerja yang sudah dilakukan dan tugas pemuda Tamansiswa-lah untuk bisa menyelesaikan permasalahan ini. Pemuda Tamansiswa harus mulai membuka diri, bergaul dengan dunia luar dan mulai mempelopori persatuan nasional dalam keterpihakkan pada kepentingan rakyat.
Kritik ke-dua; untuk kaum tua Tamansiswa   [pejabat birokrasi]
Sesungguhnya pengetahuan dan pemahaman saya terhadap permasalahan Tamansiswa   terutama yang dialami kaum tua belum terlau banyak, untuk itu saya hanya akan mengupas persoalan-persoalan yang saya ketahui saja.
Ada beberapa persoalan yang menurut saya sudah menyimpang dari semangat perjuangan Tamansiswa   semasa Ki Hadjar dulu. Dimana pada masa kepemimpinan Ki Hadjar, Tamansiswa masih mempunyai posisi tawar dalam pemerintahan dan banyak tokoh Tamansiswa yang diakui secara nasional, hal ini terbukti banyak tokoh-tokoh Tamansiswa   yang dipercaya untuk memimpin beberapa departemen kementrian dapa waktu itu, namun kini sudah tak ada lagi tokoh-tokoh Tamansiswa   yang dipercaya untuk memimpin departemen kementrian. Hal ini mengindikasikan bahwa Tamansiswa saat ini sudah tidak mampu mencetak kader-kader muda terbaiknya untuk bisa menjadi pemimpin muda yang progresif dan diakui secara nasional.
Dalam hal penyelenggaraan pendidikan, kini perguruan Tamansiswa sudah tak lagi merakyat (murah). Dari tahun-ketahun biaya pendidikan di Tamansiswa terus mengalami kenaikan yang begitu fantastis, sungguh jauh dari semangat kampus kerakyatan. Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bagi para pimpinan perguruan Tamansiswa  yang harus segera di selesaikan. Memang ini menjadi dilema bagi Tamansiswa , disisi lain Tamansiswa   sedikit terseok-seok dalam penyelenggaraan pendidikan tapi bila kita manaikan biaya penyelenggaraan pendidikan maka Tamansiswa   akan menyimpang dari tujuan dan semangat juang pendirian Tamansiswa. Untuk itu diperlukan pemimpin perguruan Tamansiswa   yang mampu menyelesaikan permasalahan ini dan pemimpin yang mempunyai idealisme yang tinggi yang tetap berpegang teguh pada ajaran dan azas Tamansiswa.
Kurangnya semangat budaya kerja juga masih menjadi persoalan yang belum juga terselesaikan, bisa kita lihat, masih banyak pamong yang mengajar seenaknya. Karyawan juga masih kurang profesional dalam pelayanan terhadap mahasiswa, hal ini bisa dilihat disaat mahasiswa sedang mengurus nilai atau juga pembayaran, banyak mahasiswa yang mengeluh dan kecewa karena dilempar sana-sini dalam mencari informasi. Ini mengindikasikan bahwa manajemen yang ada di Tamansiswa   masih belum tertata rapi, pun demikian yang terjadi ketika banyak mahasiswa yang melakukan PPL II atau penelitian di SMK/SMA Tamansiswa, mereka mengeluhkan data-data yang tidak terarsip dengan rapi sehingga menyulitkan mahasiswa untuk mencari data-data yang mereka butuhkan.
Politik kepentingan juga sering kali mewarnai kehidupan di Tamansiswa , yang justru menghambat kemajuan Tamansiswa  itu sendiri, sebagai contoh setiap kali ada pemilihan dekan, rektor atau adanya proyek-proyek pembangunan di kampus selalu menjadi ajang rebutan para pimpinan kita. Seharusnya kita meneladani apa yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara dimana beliau rela menyerahkan harta benda serta jiwa raga sepenuhnya untuk keberlangsungan dan kemajuan Tamansiswa…
Dan akhirnya saya hanya bisa berharap kepada kader-kader Tamansiswa   untuk bisa belajar, bersatu dan berjuang bersama untuk Tamansiswa   yang lebih baik dan selanjutnya dapat berkontribusi untuk membangun bangsa ini… Jangan Pernah Mengaku Orang Tamansiswa  Yang Progresif Revolusioner Kalau Masih Melakukan Kerja-Kerja Kontra Revolusioner Dengan Upaya Perpecahan Dan Pengkebirian Kader Muda Tamansiswa …

Tulisan ini sengaja saya buat sebagai bentuk keprihatinan terhadap sikap beberapa kawan mahasiswa kampus kebangsaan yang notabene adalah bagian dari perguruan Tamansiswa yang sempat merepresif beberapa kawan pergerakan mahasiswa yang sedang melakukan aksi simpatik di makan Ki Hadjar Dewantara terkait HARDIKNAS.
Tidak habis pikir kenapa ada kawan-kawan UST yang sampai hati mencoba membubarkan aksi simpatik itu, padahal waktu itu kawan-kawan hanya menyampaikan aspirasinya dengan berorasi dan juga aksi teatrikal atas bobroknya dunia pendidikan saat ini. Kawan-kawan yang melakukan orasi dan tearikal bermaksud mengadu kepada Makam Ki Hadjar sebagai simbol kekecewaan mahasiswa karena pemerintah tak mau peduli akan pendidikan dan nasib anak bangsa, aksi itu sebagai simbol mahasiswa yang telah kecewa dan antipati terhadap pemerintahan SBY-Budiono yang sudah tidak mau lagi mendengarkan aspirasi mahasiswa dan tak mau lagi mendengarkan keluhan-keluhan dari rakyatnya atas carut-marutnya pendidikan dan mahalnya biaya pendidikan.
Aksi tersebut sempat terhenti beberapa saat dikala beberapa kawan UST yang ikut aksi (anggota pergerakan) dipaksa untuk membuka almamater UST oleh beberapa mahasiswa UST yang lain. Mereka (yang merepresif masa aksi) berdalih bahwa Tamansiswa  anti pergerakan, Tamansiswa  harus bersih dari paham-paham lain diluar Tamansiswa … Yang menjadi pertanyaan besar dalam diri saya adalah, benarkah Tamansiswa  anti terhadap pergerakan pemuda?
Dalam bukunya, Ki Hadjar pernah menuliskan tentang tiga pusat pendidikan atau yang lebih dikenal dengan istilah Trisentra Education, dalam tulisannya tersebut Ki Hadjar menjelaskan ada tiga pusat pendidikan sebagai syarat pembentukan mental dan karakter pemuda sebelum mereka terjun kedalam masyarakat. Kalau yang umum dikenal oleh khalayak masyarakat, Trisentra diantaranya adalah; keluarga, sekolah dan masyarakat. Tapi dalam bukunya, Ki Hadjar menuliskan bahwa Trisentra yang dimaksud adalah; alam keluarga, alam perguruan dan alam pergerakan pemuda. Ketiga ruang pembelajaran tersebut menurut Ki Hadjar merupakan tempat dimana pemuda untuk belajar berbagai hal sebelum nantinya terjun kedalam masyarakat dan mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah didapat. Menurut Ki Hadjar masyarakat adalah tempat untuk menerapkan ilmu-ilmu yang didapat dari ketiga alam tadi, masyarakat bukan lagi tempat untuk mencari ilmu, meskpun ketiga alam/tempat belajar tadi tak bisa dipisahkan dari masyarakat.
Dari ketiga alam tadi sudah jelas bahwa Alam Keluarga merupakan tempat pertama anak-anak belajar, keluarga disini sangat berperan dalam mendidik budi pekerti dan laku sosial anak-anak diwaktu masih kecil; setelah besar anak-anak pada akhirnya harus mencari ilmu yang lain dan lebih luar yaitu dialam perguruan. Alam perguruan disina dapat diartikan sebagai sekolah, pesantren atau perguruan tinggi. Perguruan sebagai balai wiyata, yaitu buat usaha mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, disamping pendidikan intelek; menginjak kedewasaan anak-anak mulai mengenal pergerakan pemuda. Pergerakan pemuda sebagai daerah kemerdekaannya kaum muda atau “Kerajaan Pemuda”, untuk melakukan penguasaan diri, yang amat perlunya buat pembentukan watak. Pergerakan pemuda disini bisa bermacam-macam, diantaranya karang taruna, pramuka atau bagi mahasiswa bisa berupa UKM, BEM, atau organ ekstra yang lain yang beraliran kulturalnasional (adab kebangsaan) untuk menyokong pendidikan.
Jadi saya melihat tak ada sedikitpun Ki Hadjar sebagai Tokoh pendiri Tamansiswa mencoba melarang pemuda-pemudanya untuk belajar di alam pergerakan pemuda. Yang ditekankan oleh Ki Hadjar adalah silakan para pemuda belajar apapun dan dimanapun asalkan tidak membahayakan dirinya-sendiri (pemuda), tidak membahayakan orang lain dan tidak bertentangan dengan semangat persatuan nasional. Jadi jelaslah bahwa tak sedikitpun Tamansiswa melarang pemudanya untuk belajar apapun dan dimanapun asal tidak bertentangan dengan semangat persatuan nasional.
Kalau kita berkaca dari asal-muasal ide-ide cemerlang Ki Hadjar, kita tidak bisa memungkiri bahwa ide-ide dan gagasan besar ki hadjar adalah hasil perpaduan ilmu lokal dan ilmu impor yang berasal dari pemikir-pemikir luar negeri yang diantaranya Rabindranath Tagore yang berasal dari India dan Montessori dari Italia, Pertalozzi, Dr. frobel dll. Jadi sudah jelas bahwa Ki Hadjar tidak anti terhadap konsep-konsep dan ilmu dari luar negeri. Namun disini Ki Hadjar mengingatkan untuk tidak langsung menerapkan ilmu-ilmu itu secara mentah di Indonesia namun harus ada penyaringan dan disesuaikan dengan budaya bangsa.
Yang masih menjadi sorotan dan perbincangan yang panjang adalah benarkah Tamansiswa  (UST) melarang mahasiswanya untuk belajar atau mengikuti organ ekstra kampus??? Kalau memang benar sepeti itu berarti UST sudah sedikit menyimpang dari pemikiran tokoh pendirinya dan menurut saya ini ada indikasi pelemahan kepada mahasiswa agar tidak kritis lagi dengan apa yang ada di Kampus dan juga dengan permasalahan yang ada dinegara ini.
Saya sangat berharap suatu saat nanti akan muncul generasi muda Tamansiswa  (mahasiswa) yang kritis dan vokal atas persoalan ini serta mau merubah peraturan (kalau ada) yang melarang pemuda/mahasiswa untuk berorganisasi (ekstra kampus). Karena peraturan yang melarang mahasiswa berorganisasi ekstra kampus merupaka bentuk-bentuk pengkebirian dan penindasan terhadap mahasiswa untuk belajar. Pihak-pihak yang melakukan pengkebirian terhadap mahasiswa sudah jelas merupakan tindakan Kontra Revolusi yang harus kita lawan!!! Tak peduli itu mahasiswa atau birokrasi kita!!! Hanya ada satu kata untuk para penindas yang kontra revolusi…LAWAN!!!


Berbicara tentang Tamansiswa tak bisa lepas dari pendidikan dan sejarah pergerakan Indonesia. Tamansiswa lahir pada jaman penjajahan Hindia Belanda. Peguruan Tamansiswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 juli 1922 di Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889, dengan nama kecil Suwardi Suryanigrat, yang mana hari lahirnya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional oleh pemerintah.
Latar belakang berdirinya Tamansiswa adalah bahwa sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda sesungguhnya tidaklah diperuntukkan bagi kepentingan rakyat Indonesia.  Belanda berdalih bahwa sekolah-sekolah yang didirikan waktu itu untuk penebusan dosa kepada rakyat Indonesia namun kenyataannya adalah bahwa sekolah-sekolah yang didirikan adalah untuk kepentingan politik kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda dengan sistem politik kolonialnya tidak memperhatikan kepentingan rakyat dalam segala bidang kehidupannya. Kepetingan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, termasuk pula pendidikannya, tidak mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Oleh karenanya adalah wajar, bahwa suasana dan kondisi kolonial turut mewarnai kelahiran tersebut dalam bentuk positif terhadapnya.
Tamansiswa didirikan atas keprihatinan Ki Hadjar atas nasib rakyat Indonesia yang tidak mendapatkan haknya dalam hal pendidikan. Tamansiswa diciptakan agar rakyat jelata dapat mengenyam pendidikan yang pada akhirnya bertujuan untuk mencerdaskan dan memerdekaan bangsa, baik merdeka secara lahir maupun batin.
Diakui atau tidak, saat ini sudah terjadi pergeseran pemahaman ajaran dan tujuan perguruan Tamansiswa, bahkan dikalangan orang-orang Tamansiswa itu sendiri. Kita tahu bahwa dalam azas Tamansiswa yang pertama disebutkan Setiap orang berhak mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertib persatuan dalam kehidupan umum”. Nah disini jelas bahwa Tamansiswa mengajarkan dan memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada setiap individu untuk mengatur dirinya sendiri dengan catatan harus menjaga ketertiban dan persatuan dalam kehidupan umum. Kiranya sudah sangat jelas bahwa Tamansiswa sangat mengutamakan persatuan, bukan permusuhan. Jadi tidak boleh ada intimidasi, ancaman dan permusuhan antar sesama.
Dalam azas Tamansiswa yang kedua disebutkan Pendidikan yang diberikan hendaknya dapat menjadikan manusia yang merdeka”. Azas yang kedua ini tentunya mengandung arti yang sangat luhur, dimana dalam konsep pendidikannya, Tamansiswa ingin menciptakan manusia yang merdeka sepenuhnya. Dalam hal ini kemerdekaan tak boleh disalah artikan untuk bebas menindas orang lain, kemerdekaan disini bukan berarti bebas berbuat sesuka hati, kemerdekaan disini haruslah bertumpu pada ketertiban dan menghormati hak-hak orang lain, baik hak untuk hidup yang layak, berserikat, berkumpul dan hak menyuarakan aspirasinya.
Jadi sudah jelas bahwa Tamansiswa diciptakan bukan dengan eksklusifisme tapi pluralisme, menghargai perbedaan. Ajaran Tamansiswa bukanlah doktrin yang harus dijejalkan paksa, Tamansiswa tidak pernah memaksakan ajarannya untuk bisa diterima oleh seluruh umat manusia. Sesungguhnya nilai luhur dari Tamansiswa adalah begitu menghargai perbedaan dan perjuangannya untuk menjadikan manusia yang merdeka seutuhnya.
Yang perlu garis bawahi disini adalah Tamansiswa diciptakan untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya kemerdekaan Tamansiswa. Tamansiswa diciptakan untuk perjuangan kemerdekaan tiap individu yang ada diseluruh penjuru dunia. Jadi Tamansiswa tak boleh merasa eksklusif dan paling benar, Tamansiswa harus mau bercampur baur dengan seluruh rakyat dalam membangun bangsa dengan mengedepankan toleransi terhadap sesama.
Dalam kesempatan ini saya mencoba mengingatkan kawan-kawan yang mengaku kader atau orang Tamansiswa, bahwa “TAMANSISWA DICIPTAKAN UNTUK MEMPERJUANGKAN NASIB RAKYAT YANG TERTINDAS, BUKAN UNTUK MENINDAS… TAMANSISWA JUGA MENGAJARKAN PERSATUAN, BUKAN PERPECAHAN ATAU PERMUSUHAN”